Minggu, 28 November 2010

Askep kejang demam

BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kejang demam merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak. Dari penelitian oleh beberapa pakar didapatkan bahwa sekitar 2,2%-5% anak pernah mengalami kejang demam sebelum mereka mencapai umur 5 tahun. Penelitian di jepang bahkan mendapatkan angka kejadian (inseden) yang lebih tinggi, yaitu Maeda dkk, 1993 emndapatkan angka 9,7% (pada pria 10,5% dan pada wanita 8,9% dan Tsuboi mendapatkan angka sekitar 7%.
Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% da Amerika Serikat, Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia lebih tinngi kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam komplek.Akhir-akhir ini kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu kejang demam sederhana yang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum, dan kejang demam komplek yang berlangsung lebih dari dari 15 menit, fokal atau multifel (lebih dari 1 kali kejang demam dalam 24 jam) (Arif Manajer, 2000).
Kejang demam bisa diakibatkan oleh infeksi ekstrakranial seperti ISPA, radang telinga, campak, cacar air. Dalam keadaan demam, kenaikan suhu tubuh sebesar 10C pun bisa mengakibatkan kenaikan metabolisme basal yang mengakibatkan peningkatan kebutuhan oksigen jaringan sebesar 10 – 15 % dan otak sebesar 20 %. Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka anak akan kejang. Umumnya kejang tidak akan menimbulkan dampak sisa jika kejang tersebut berlangsung kurang dari 5 menit tetapi anak harus tetap mendapat penanganan agar tidak terjadi kejang ulang yang biasanya lebih lama frekuensinya dari kejang pertama. Timbulnya kejang pada anak akan menimbulkan berbagai masalah seperti resiko cidera, resiko terjadinya aspirasi atau yang lebih fatal adalah lidah jatuh ke belakang yang mengakibatkan obstruksi pada jalan nafas.
Hemiparesis biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama (berlangsung lebih dari setengah jam) baik bersifat umum maaupun fokal, kelumpuhannya sesuai dengan kejang vokal yang terjadi. Mula-mula kelumpuhannya bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu spasitisitas. Milichap (1998) melaporkan dari 1990 anak menderita kejang demam, hanya 0,2 % saja yang mengalami hemiparese sesudah kejang lama.
dengan melihat latar belakang tersebut, masalah atau kasus ini dapat diturubkan melalui upaya pencegahan dan penanggulangan optimal yang diberikan sedini mungkin pada anak. Dan perlu diingat bahwa maslah penanggulangan kejang demam ini bukan hanya masalah di rumah sakit tetapi mencskup permasalahan yang menyeluruh dimulai dari individu anak tersebut, keluarga, kelompok maupun masyarakat.
2. Tujuan Penulisan
 Tujuan umum:
Untuk memperoleh informasi mengenai penyakit kejang demam pada anak.
 Tujuan khusus:
Untuk mengetahui;
1. definisi penyakit kejang demam pada anak.
2. etiologi penyakit kejang demam pada anak
3. manifestasi klinik penyakit kejang demam pada anak .
4. patofisiologi penyakit kejang demam pada anak.
5. komplikasi penyakit kejang demam pada anak.
6. pemeriksaan diagnostik penyakit kejang demam pada anak .
7. penatalaksanaan penyakit kejang demam pada anak.
8. asuhan keperawatan yang harus diberikan pada klien dengan kejang demam.



BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. KONSEP DASAR MEDIK
1. Anatomi Fisiologi
Sistem persyarafan terdiri dari sel-sel syaraf (neuron) yang tersusun membentuk sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Sistem saraf pusat (SSP) terdiri atas otak dan medula spinalis sedangkan sistem saraf tepi (perifer) merupakan susunan saraf diluar SSP yang membawa pesan dari sistem saraf pusat.
Stimulasi atau rangsangan yang diterima oleh tubuh baik yang bersumber dari lingkungan internal maupun eksternal menyebabkan berbagai perubahan dan menuntut tubuh untuk mampu mengadaptasinya sehingga tubuh tetap simbang. Upaya tubuh untuk mengadaptasi berlangsung melalui kegiatan sistem saraf disebut sebagai kegiatan refleks. Bila tubuh tidak mampu mengadaptasinya maka akan terjadi kondisi yang tidak seim`bang atau sakit.
Stimulus diterima oleh reseptor (penerima rangsang) sistem saraf yang selanjutnya akan dihantarkan oleh sistem saraf tepi ke sistem saraf pusat. Di sistem saraf pusat impuls diolah untuk kemudian meneruskan jawaban (respon) kembali melalui sistem saraf tepi menuju efektor yang berfungsi sebagai pencetus jawaban akhir. Jawaban yang terjadi dapat berupa jawaban yang dipengaruhi oleh kemauan (volunter) dan jawaban yang tidak dipengaruhi oleh kemauan (anvolunter)
Jawaban yang volunter melibatkan sistem saraf somatis sedangkan yang involunter melibatkaan sistem saraf otonom. Yang berfungsi sebagai efektor dari sistem saraf somatik adalah otot rangka sedangkan untuk sistem saraf otonom, efektornya adalah otot polos, otot jantung dan kelenjer sebasea.
Secara garis besar sistem saraf mempunyai empat fungsi tentang :
1. Menerima informasi dari dalam maupun dari luar tubuh melalui saraf sensory (afferent sensory pathway)
2. Mengkomunikasikan informasi antara sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat
3. Mengelola informasi yang diterima baik ditingkat medulla spinalis maupun di otak untuk selanjutnya menentukan jawaban atau respon
4. Menghantarkan jawaban secara cepat melalui saraf motorik ke organ-organ tubuh sebagai kontrol atau modifikasi dari tindakan

Sel Saraf Neuron
Merupakan sel tubuh yang berfungsi mencetuskan dan menghantarkan impuls listrik. Neuron merupakan unit dasar dan fungsional sistem saraf yang mempunyai sifat exitability artinya siap memberi respon apabila terstimulasi. Satu sel saraf mempunyai badan sel (soma) yang mempunyai satu atau lebih tonjolan (dendrit). Tonjolan-tonjolan ini keluar dari sitoplasma sel saraf. Satu atau dua ekspansi yang sangat panjang disebut akson. Serat saraf adalah akson dari neuron.
Dendrit dan badan sel saraf berfungsi sebagai pencetus impuls, sedangkan akson berfungsi sebagai pembawa impuls. Sel-sel saraf membentuk mata rantai yang panjang dari perifer ke pusat dan sebaliknya, dengan demikian impuls dihantarkan secara berantai dari satu neuron ke neuron lainnya. Tempat diman terjadi antara satu neuron dan neuron lainnya disebut sinaps. Penghantaran impuls dari satu neuron ke neuron lainnya belangsung dengan perantaraan zat kimia
Sistem Saraf Pusat
Sistem saraf pusat terdiri atas otak dan medula spinalis. Dibungkus oleh selaput meningaen yang berfungsi umtuk melindungi CNS. Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, arachnoid, dan piamater. Secara fisiologis SSP berfungsi intuk interpretasi, integrasi, koordinasi, dan insiasi berbagai impuls saraf
Otak, terdiri dari otak besar (cerbelum), otak kecil (cerebrum), dan batang otak (brainstem). Otak merupakan jaringan yang paling banyak menggunakan energi yang didukung oleh metabolisme oksidasi glukosa. Kebutuhan oksigen dan glukosa relatif konstan, hal ini disebabkan oleh karena metabolisme otak yang merupakan proses yang-terus menerus tanpa periode istirahat yang berarti. Bila kadar oksigen dan glukosa kurang dalam jaringan otak maka metabolisme akan terganggu dan jaringan saraf akan mengalami kerusakan.
Medula spinalis merupakan perpenjangan dari medula oblongata yang mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu kornu motorik atau kornu ventralis
2. Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks lutut
3. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum
4. Mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh.

2. Pengertian
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas 38oc) yang disebabkan oleh suatu proses ekstracranial (mansjoer, 2000)
Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson, 1995).
Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang bersifat sementara (Hudak and Gallo,1996).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yaitu 380 C yang sering di jumpai pada usia anak dibawah lima tahun.


Klasifikasi kejang demam;
1. Menurut Ngastiyah ( 1997: 231), klasikfikasi kejang demam adalah
Kejang demam sederhan yaitu kejang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum. Adapun pedoman untuk mendiagnosa kejang demam sederhana dapat diketahui melalui criteria Livingstone, yaitu :
a. umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun
b. kejang berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit.
c. Kejang bersifat umum
d. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam.
e. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kjang normal
f. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukan kelainan.
g. Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali
2. Kejang kompleks (epilepsi yang dicetuskan oleh demam)
Kejang kompleks adalah tidak memenuhi salah satu lebih dari ketujuh criteria Livingstone. Menurut Mansyur ( 2000: 434) biasanya dari kejang kompleks diandai dengan:
a. kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit
b. usia penderita lebih dari 6 tahun saat serangan kejang demam pertama
c. frekuensi serangan kejang melebihi 4 kali dalam satu tahun
d. kejang berlangsung lama atau bersifat fokal atau multiple ( lebih dari 1 kali dalam 24jam)
Di sini anak sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurology atau riwayat kejang dalam atau tanpa kejang dalam riwayat keluarga.
Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang tonik dan kejang mioklonik.

a. Kejang Tonik
Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi selaput otak atau kernikterus
b. Kejang Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
c. Kejang Mioklonik
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.
3. Etiologi
Penyebab kejang demam yang sering ditemukan adalah :
Faktor predisposisi :
1. Keturunan, orang tua yang memiliki riwayat kejang sebelumnya dapat diturunkan pada anakmya.
2. Umur, (lebih sering pada umur < 5 tahun), karena sel otak pada anak belum matang sehingga mudah mengalami perubahan konsentrasi ketika mendapat rangsangan tiba-tiba. Faktor presipitasi 1. Adanaya proses infeksi ekstrakranium oleh bakteri atau virus misalnya infeksi saluran pernapasan atas, otitis media akut, tonsilitis, gastroenteritis, infeksi traktus urinarius dan faringitis. 2. Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan elektrolit sehingga mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron misalnya hiponatremia, hipernatremia, hipoglikemia, hipokalsemia, dan hipomagnesemia. 3. Kejang demam yang disebabkan oleh kejadian perinatal (trauma kepala, infeksi premature, hipoksia) yang dapat menyebabkan kerusakan otak. Menurut staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI (1985: 50), faktor presipitasi kejang demam: cenderung timbul 24 jam pertama pada waktu sakit demam atau dimana demam mendadak tinggi karena infeksi pernafasan bagian atas. Demam lebih sering disebabkan oleh virus daripada bakterial. 4. Patofisiologi Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel / organ otak diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glucose,sifat proses itu adalah oxidasi dengan perantara pungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui system kardiovaskuler. Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang melalui proses oxidasi, dan dipecah menjadi karbon dioksida dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel. Yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dengan mudah dapat dilalui oleh ion Kalium (K+). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi NA+ rendah. Sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya,karena itu terdapat perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim NA, K, ATP yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah dengan perubahan konsentrasi ion diruang extra selular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan dari patofisiologisnya membran sendiri karena penyakit/keturunan. Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibanding dengan orang dewasa 15 %. Dan karena itu pada anak tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dalam singkat terjadi difusi di ion K+ maupun ion NA+ melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepasnya muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit biasanya disertai apnea, NA meningkat, kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis. 5. Manifestasi klinik Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat : misalnya tonsilitis, otitis media akut, ISPA, UTI, serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik. 6. Pemeriksaan Diagnostik Adapun pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien kejang demam antara lain : a) Pemeriksaan Laboratorium Elektrolit Tidak seimbang dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang Glukosa Hipoglikemia ( normal 80 - 120) Ureum / kreatinin Meningkat (ureum normal 10 – 50 mg/dL dan kreatinin normal =< 1,4 mg/dL) Sel Darah Merah (Hb) Menurun ( normal 14-18 g/dl, 12-16 g/dl ) Lumbal punksi Tes ini untuk memperoleh cairan cerebrospinalis dan untuk mengetahui keadaan lintas likuor. Tes ini dapat mendeteksi penyebab kejang demam atau kejang karena infeksi pada otak. - Pada kejang demam tidak terdapat gambaran patologis dan pemeriksaan lumbal pungsi - Pada kejang oleh infeksi pada otak ditemukan : 1) Warna cairan cerebrospinal : berwarna kuning, menunjukan pigmen kuning santokrom 2) Jumlah cairan dalam cerebrospinal menigkat lebih dari normal (normal bayi 40-60ml, anak muda 60-100ml, anak lebih tua 80-120ml dan dewasa 130-150ml) 3) Perubahan biokimia : kadar Kalium menigkat ( normal dewasa 3.5-5.0 mEq/L, bayi 3.6-5.8mEq/L) b) EEG (electroencephalography) EEG merupakan cara untuk merekam aktivitas listrik otak melalui tengkorang yang utuh untuk menentukan adanya kelainan pada SSP, EEG dilakukan sedikitnya 1 minggu setelah suhu normal. Tidak menunjukkan kelainan pada kejang demam sederhana, gelombang EEG yang lambat di daerah belakang dan unilateral menunjukkan kejang demam kompleks c) CT Scan Tidak dianjurkan pada kejang demam yang beru terjadi pada pertama kalinya d) Pemeriksaan Radiologis 1) Foto tengkorak diperhatikan simetris tulang tengkorak, destruksi tulang peningkatan tekanan intrakranial 2) Pneumonsefalografi dan ventrikulografi dilakukan atas indikasi tertentu yaitu untuk melihat gambaran sistem ventrikal, rongga subaraknoid serta gambaran otak sehingga dapat diketahui adanya atrofi otak, tumor serebri, hidrosefalus araknoiditis 3) Arteriografi untuk melihat keadaan pembuluh darah di otak, apakah ada penyumbatan atau peregangan. 7. Penatalaksanaan Medik Pada penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu : 1. Pengobatan Fase Akut Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan napas harus bebas agar oksigennisasi terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh tinggi diturunkan dengan kompres air dan pemberian antipiretik. Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut. Bila diazepam intravena tidak tersedia atau pemberiannya sulit gunakan diazepam intrarektal 5 mg (BB≤10 kg) atau 10 mg(BB≥10kg) bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang 15 menit kemudian. Bila tidak berhenti juga, berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBb/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan Nacl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena. Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital diberikan langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk neonatus 30 mg, bayi 1 bulan -1 tahun 50 mg dan umur 1 tahun ke atas 75 mg secara intramuscular. Empat jama kemudian diberikan fenobarbital dosis rumat. Untuk 2 hari pertama dengan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik per oral. Perhatikan bahwa dosis total tidak melebihi 200mg/hari. Efek sampingnya adalah hipotensi,penurunan kesadaran dan depresi pernapasan. Bila kejang berhenti dengan fenitoin,lanjutkna fenitoin dengan dosis 4-8mg/KgBB/hari, 12-24 jam setelah dosis awal. 2. Mencari dan mengobati penyebab Penyebab dari kejang demam baik kejang demam sederhana maupun kejang epilepsi yang diprovokasi oleh demam biasanya ISPA dan otitis media akut. Pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat utnuk mengobati infeksi tersebut. Biasanya dilakukan pemeriksaan fungsi lumbal untuk mengetahui faktor resiko infeksi di dalam otak, misalnya: meningitis. Apabila menghadapi penderita dengan kejang demam lama, pemeriksaan yang intensif perlu dilakukan, seperti: pemeriksaan darah lengkap. 3. Pengobatan rumat Pengobatan ini dibagi atas 2 bagian: 1. Pengobatan profilaksis intermiten: untuk mencegah terulangnya kejadian demam dikemudian hari, orang tua atau pengasuh harus cepat mengetahui bila anak menderita demam. Disamping pemberian antipiretik, obat yang tepat untuk mencegah kejang waktu demam adalah diazepam intrarektal. Diberiakan tiap 12 jam pada penderita demam dengan suhu 38,5oC atau lebih. Dosis Diazepam diberikan 5 mg untuk anak kurang dari 3 tahun dan 7,5 mg untuk anak lebih dari 3 tahun atau dapat diberikan Diazepam oral 0,5 mg/kgBB pada waktu penderita demam (berdasarkan resep dokter). 2. Pengobatan profilaksis jangka panjang yaitu dengan pemberian antikonvulsan tiap hari. Hal ini diberikan pada penderita yang menunjukkan hal berikut; a. Sebelum kejang demam penderita sudah ada kelainan neurologis atau perkembangannya b. Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis sementara atau menetap c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung d. Kejang demam pada bayi atau kejang multipel pada satu episode demam. Profilaksis jangka panjang setiap hari dengan fenobarbital 4-5mg.kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan 8. Komplikasi • Epilepsi Terjadi akibat adanya kerusakan pada daerah lobus temporalis yang berlangsung lama dan dapat menjadi matang • Retardasi mental Terjadi pada pasien kejang demam yang sebelumnya telah terdapat gangguan perkembangan atau kelainan neurologis • Hemiparese Biasanya terjadi padaa pasien yang mengalemi kejang lama (berlangsung lebih dari 30 menit) • Gagal pernapasan Akibat dari ektivitas kejang yang menyebabkan otot-otot pernapasan menjadi spasme • Kematian BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan adanya riwayat keluarga dengan kejang demam, kejang terjadi pada usia 2-5 tahun, adanya riwayat infeksi, lemah, badan/kulit teraba panas, kejang kurang dari 5 menit, kehilangan kesadaran, sianosis b. Pola nutrisi dan metabolik Mual dan muntah berhubungan dengan aktivitas kejang, nafsu makan menurun, berat badan menurun, membrane mukosa kering, konjungtiva tampak anemis, dan suhu tubuh meningkat c. Pola eliminasi Frekuensi meningkat konsistensi cair, diare d. Pola aktivitas dan latihan Kelemahan umum, kehilangan kesadaran singkat, gerakan infolunter/kontraksi otot, kaku, penurunan tonus otot e. Pola persepsi dan konsep diri Perasaan cemas, ketakutan dengan kondisi anak dikemudian hari f. Pola sistem nilai dan kepercayaan Nilai keyakinan mungkian meningkat seiring kebutuhan untuk mendapat sumber kesembuhan dari Tuhan 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa yang mungkin muncul: a. Hipertermi b/d adanya proses infeksi b. Resiko tinggi cedera fisik b/d aktifitas motorik yang meningkat (kejang) c. Resiko tinggi pola nafas tidak efektif b/d penurunan neuromuscular d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang kurang e. Resiko tinggi perubahan volume cairan kurang dari kebutuhanan tubuh b/d pengeluaran yang berlebihan f. Resiko tinggi gangguan perfusi jaringan ke otak b/d penurunan suplai O2 3. Intervensi Keperawatan a. Hipertermi b/d adanya proses infeksi HYD: suhu normal 36oC – 37oC pada klien dalam jangka waktu 2 hari Intervensi: 1. Kaji penyebab hipertermi R/ hipertermi merupakan salah satu gejala/kompensasi tubuh terhadap adanya infeksi baik secra lokal maupun secara sistematik 2. Observasi TTV R/ pada klien hipertermi terjadi kenaikan TTV terutama suhu, nadi, pernapasan. Hal ni disebabkan karana metabolisma tubuh meningkat. 3. Beri kompres hangat pada bagian dahi atau ketiak R/ daerah dahi dan aksila merupakan jaringan tipis dan terdapat pembulu darah sehingga proses vasodilatasi pembuluh darah lebih cepat sehinggga pergerakan-pergerakan molekul cepat sehinga evaporasi meningkat dengan cepat 4. Beri minum sedikit-sedikit tapi sering R/ untuk mengganti cairan yang hilang dan untuk mempertahankan cairan di dalam tubuh 5. Pakaikan pakaian yang tipis yang dapat menyerap keringat R/ pakaian yang tipis dapat membantu mempercepat proses evaporasi 6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antipiretik b. Resiko tinggi cedera fisik b/d aktifitas motorik yang meningkat (kejang) HYD: lidah tidak tergigit dan jatuh ke belakang Intevensi 1. Jelaskan pada keluarga akibat-akibat yang terjadi sat kejang berulang (lidah tergigit) R/ panjelasan yang baik dan tepat sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan dalam mengatasi kejang (lidah tergigit) 2. Sediakan spatel lidah yang telah dibungkur gaas verban R/ sptel llidah digunakan untuk menahan lidah jjika tergigit 3. Beri posisi miring kiri/kanan R/ mencegah aspirasi pada lambung 4. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti konvulsan R/ obat anti konvulsan sebagai pengatur gerakan motorik dalam hal ini anti konvulsan menghentikan gerakan motorik yang berlebihan c. Resiko tinggi pola nafas tidak efektif b/d penurunan neuromuscular HYD : mempertahankan pola napas efektif Intervensi: 1. Anjurkan pasien mengosongkan mulut dari benda atau zat tertentu R/ menurunkan resiko aspirasi atau masuknya suatu benda asing ke faring. 2. Letakkan pasien pada posisi miring dan permukaan datar R/ mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan napas 3. Masukkan spatel lidah/jalan napas buatan R/ mencegah tejatuhnya lidah dan memfasilitasi saat melakukan pengisapan lendir 4. Kolabori dalm pemberian oksigen sesuai indikasi. R/ menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun d. Resiko tinggi gangguan perfusi jaringan ke otak b/d penurunan suplai O2 HYD: gangguan perfusi jaringan otak tidak terjadi Intervensi: 1. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan terentu atau yang menyebabkan penurunan perfusi jaringan otak R/ penurunan tanda atau gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal menunjukkan bahwapasien itu perlu dipindahkan ke keperawatan intensif 2. Observasi TTV R/ periksa TTV sangat penting untuk mnegetahui tindakan selanjutnya 3. Pertahankan leher atau kepala pada posisi tengah kemudian sokong dengan handuk kecil atau bantal kecil R/ kepala yang miring pada satu sisi akan menekan vena jungularis dan menghambat aliran darah vena yang selanjutnya meningkatkan TIK 4. Berikan waktu istirahat diantara aktifitas keperawatan yang dilakukan R/ aktifitas yang dilakukan terus menerus dapat meningkatkan TIK dengan menimbulkan efek stimulasi kumulatif 5. Catat adanya refleks-refleks menelan, batuk, babinski dan reaksi pupil R/ penurunan refleks menandakan adanya kerusakan pada tigkat otak tengah atau batang otak yang sangat berpengaruh langsungj terhadap keamanan pasien. 6. Anjurkan orang terdekat (keluarga) untuk berbicara dengan pasien. R/ ungkapan keluarga yang menyenangkan pasien tampak mempunyai efek relaksasi pada beberapa pasien. e. Kecemasan orang tua berhubungan dengan dampak hospitalisasi Hasil yang diharapkan : orang tua tidak merasa cemas Intervensi : 1. Kaji persepsi orang tua terhadap penyakit klien R/ persepsi yang positif dalm membina kerja sama yang baik dalam proses keperawatan. 2. Beri sopport pada keluargaa bahwa klien akan sembuh kalau rutin dalam perawatan dan pengobatan R/ menaati anjuran atau larangan serta ketekunan mengkonsummsi obat dapat mempercepat proses penyembuhan. 3. Berikan kesempatan mengungkapakan perasaannya (apa yang dirasakan orang tua saat itu) R/ mengurangi beban psikologis dengan menyalurkan aspek emosional secara efektif dan cepat. 4. Beri informasi tentang cara mengatasi kejang seperti ana dibaringkan di tempat yang datar, kepalanya dimiringkan dan pasang gagang sendok yang telah dibungkus kain bersih. R/ dapat meningkatkan pengetahuan orang tua sehingga dapat mengurangi kecemasan. 5. Anjurkan kepada keluarga untuk selalu berdoa dan mendekatkan diri kepada Tuhan. R/ dengan mendekatkan diri pada Tuhan dapat mengurangi ansietas orang tua BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan Kejang demam adalah suatu keadaan dimana bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh (suhu rectal > 380 C yang sering di jumpai pada usia anak dibawah lima tahun.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang sering dijumpai pada saat seorang bayi atau anak mengalami demam tanpa infeksi sistem saraf pusat. Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam. Anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat, kemudian kaku, kelojotan dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa waktu, napas akan terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak akan segera normal kembali. Kejang biasanya berakhir kurang dari 1 menit, tetapi walaupun jarang dapat terjadi selama lebih dari 15 menit.
Oleh karena itu, sangat penting bagi para orang tua untuk melakukan pemeriksaan sedini mungkin pada anaknya agar hal-hal yang tidak di inginkan dapat diketahui secara dini sehingga kejang demam dapat dicegah sedini mungkin
2. Saran
Untuk meningkatkan kulaitas pelayanan keperawatan maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut;
1. Pada pengkajian perawat perlu melakukan pengkajian dengan teliti melihat kondisi klien serta senantiasa mengembangkan teknik terapeutik dalam berkomunikasi dengan klien.
2. Agar dapat memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta sikap profesionl dalam menetapkan diagnosa keperawtan
3. Diharapkan kerja sama yang baik dari berbagai pihak dari tim kesehatan lainnya khususnya dari pihak keluarga agar selalu mengunjungi klien dalam menunjang keberhasilan perawatan dan pengobatan.


















DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Azis Alimul. (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Edisi:1. Jakarta: Salemba medika.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (2007). Ilmu Kesehatan Anak. Edisi: 11. Jakarta: Infomedika
Syaifudin (2006). Anatomi Fisiologi untuk mahasiswa keperawatan. Editor: Monica Ester. Edisi: 3. Jakarta: ECG
www.Google.com

Askep kejang demam

BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kejang demam merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak. Dari penelitian oleh beberapa pakar didapatkan bahwa sekitar 2,2%-5% anak pernah mengalami kejang demam sebelum mereka mencapai umur 5 tahun. Penelitian di jepang bahkan mendapatkan angka kejadian (inseden) yang lebih tinggi, yaitu Maeda dkk, 1993 emndapatkan angka 9,7% (pada pria 10,5% dan pada wanita 8,9% dan Tsuboi mendapatkan angka sekitar 7%.
Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% da Amerika Serikat, Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia lebih tinngi kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam komplek.Akhir-akhir ini kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu kejang demam sederhana yang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum, dan kejang demam komplek yang berlangsung lebih dari dari 15 menit, fokal atau multifel (lebih dari 1 kali kejang demam dalam 24 jam) (Arif Manajer, 2000).
Kejang demam bisa diakibatkan oleh infeksi ekstrakranial seperti ISPA, radang telinga, campak, cacar air. Dalam keadaan demam, kenaikan suhu tubuh sebesar 10C pun bisa mengakibatkan kenaikan metabolisme basal yang mengakibatkan peningkatan kebutuhan oksigen jaringan sebesar 10 – 15 % dan otak sebesar 20 %. Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka anak akan kejang. Umumnya kejang tidak akan menimbulkan dampak sisa jika kejang tersebut berlangsung kurang dari 5 menit tetapi anak harus tetap mendapat penanganan agar tidak terjadi kejang ulang yang biasanya lebih lama frekuensinya dari kejang pertama. Timbulnya kejang pada anak akan menimbulkan berbagai masalah seperti resiko cidera, resiko terjadinya aspirasi atau yang lebih fatal adalah lidah jatuh ke belakang yang mengakibatkan obstruksi pada jalan nafas.
Hemiparesis biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama (berlangsung lebih dari setengah jam) baik bersifat umum maaupun fokal, kelumpuhannya sesuai dengan kejang vokal yang terjadi. Mula-mula kelumpuhannya bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu spasitisitas. Milichap (1998) melaporkan dari 1990 anak menderita kejang demam, hanya 0,2 % saja yang mengalami hemiparese sesudah kejang lama.
dengan melihat latar belakang tersebut, masalah atau kasus ini dapat diturubkan melalui upaya pencegahan dan penanggulangan optimal yang diberikan sedini mungkin pada anak. Dan perlu diingat bahwa maslah penanggulangan kejang demam ini bukan hanya masalah di rumah sakit tetapi mencskup permasalahan yang menyeluruh dimulai dari individu anak tersebut, keluarga, kelompok maupun masyarakat.
2. Tujuan Penulisan
 Tujuan umum:
Untuk memperoleh informasi mengenai penyakit kejang demam pada anak.
 Tujuan khusus:
Untuk mengetahui;
1. definisi penyakit kejang demam pada anak.
2. etiologi penyakit kejang demam pada anak
3. manifestasi klinik penyakit kejang demam pada anak .
4. patofisiologi penyakit kejang demam pada anak.
5. komplikasi penyakit kejang demam pada anak.
6. pemeriksaan diagnostik penyakit kejang demam pada anak .
7. penatalaksanaan penyakit kejang demam pada anak.
8. asuhan keperawatan yang harus diberikan pada klien dengan kejang demam.



BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. KONSEP DASAR MEDIK
1. Anatomi Fisiologi
Sistem persyarafan terdiri dari sel-sel syaraf (neuron) yang tersusun membentuk sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Sistem saraf pusat (SSP) terdiri atas otak dan medula spinalis sedangkan sistem saraf tepi (perifer) merupakan susunan saraf diluar SSP yang membawa pesan dari sistem saraf pusat.
Stimulasi atau rangsangan yang diterima oleh tubuh baik yang bersumber dari lingkungan internal maupun eksternal menyebabkan berbagai perubahan dan menuntut tubuh untuk mampu mengadaptasinya sehingga tubuh tetap simbang. Upaya tubuh untuk mengadaptasi berlangsung melalui kegiatan sistem saraf disebut sebagai kegiatan refleks. Bila tubuh tidak mampu mengadaptasinya maka akan terjadi kondisi yang tidak seim`bang atau sakit.
Stimulus diterima oleh reseptor (penerima rangsang) sistem saraf yang selanjutnya akan dihantarkan oleh sistem saraf tepi ke sistem saraf pusat. Di sistem saraf pusat impuls diolah untuk kemudian meneruskan jawaban (respon) kembali melalui sistem saraf tepi menuju efektor yang berfungsi sebagai pencetus jawaban akhir. Jawaban yang terjadi dapat berupa jawaban yang dipengaruhi oleh kemauan (volunter) dan jawaban yang tidak dipengaruhi oleh kemauan (anvolunter)
Jawaban yang volunter melibatkan sistem saraf somatis sedangkan yang involunter melibatkaan sistem saraf otonom. Yang berfungsi sebagai efektor dari sistem saraf somatik adalah otot rangka sedangkan untuk sistem saraf otonom, efektornya adalah otot polos, otot jantung dan kelenjer sebasea.
Secara garis besar sistem saraf mempunyai empat fungsi tentang :
1. Menerima informasi dari dalam maupun dari luar tubuh melalui saraf sensory (afferent sensory pathway)
2. Mengkomunikasikan informasi antara sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat
3. Mengelola informasi yang diterima baik ditingkat medulla spinalis maupun di otak untuk selanjutnya menentukan jawaban atau respon
4. Menghantarkan jawaban secara cepat melalui saraf motorik ke organ-organ tubuh sebagai kontrol atau modifikasi dari tindakan

Sel Saraf Neuron
Merupakan sel tubuh yang berfungsi mencetuskan dan menghantarkan impuls listrik. Neuron merupakan unit dasar dan fungsional sistem saraf yang mempunyai sifat exitability artinya siap memberi respon apabila terstimulasi. Satu sel saraf mempunyai badan sel (soma) yang mempunyai satu atau lebih tonjolan (dendrit). Tonjolan-tonjolan ini keluar dari sitoplasma sel saraf. Satu atau dua ekspansi yang sangat panjang disebut akson. Serat saraf adalah akson dari neuron.
Dendrit dan badan sel saraf berfungsi sebagai pencetus impuls, sedangkan akson berfungsi sebagai pembawa impuls. Sel-sel saraf membentuk mata rantai yang panjang dari perifer ke pusat dan sebaliknya, dengan demikian impuls dihantarkan secara berantai dari satu neuron ke neuron lainnya. Tempat diman terjadi antara satu neuron dan neuron lainnya disebut sinaps. Penghantaran impuls dari satu neuron ke neuron lainnya belangsung dengan perantaraan zat kimia
Sistem Saraf Pusat
Sistem saraf pusat terdiri atas otak dan medula spinalis. Dibungkus oleh selaput meningaen yang berfungsi umtuk melindungi CNS. Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, arachnoid, dan piamater. Secara fisiologis SSP berfungsi intuk interpretasi, integrasi, koordinasi, dan insiasi berbagai impuls saraf
Otak, terdiri dari otak besar (cerbelum), otak kecil (cerebrum), dan batang otak (brainstem). Otak merupakan jaringan yang paling banyak menggunakan energi yang didukung oleh metabolisme oksidasi glukosa. Kebutuhan oksigen dan glukosa relatif konstan, hal ini disebabkan oleh karena metabolisme otak yang merupakan proses yang-terus menerus tanpa periode istirahat yang berarti. Bila kadar oksigen dan glukosa kurang dalam jaringan otak maka metabolisme akan terganggu dan jaringan saraf akan mengalami kerusakan.
Medula spinalis merupakan perpenjangan dari medula oblongata yang mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu kornu motorik atau kornu ventralis
2. Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks lutut
3. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum
4. Mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh.

2. Pengertian
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas 38oc) yang disebabkan oleh suatu proses ekstracranial (mansjoer, 2000)
Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson, 1995).
Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang bersifat sementara (Hudak and Gallo,1996).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yaitu 380 C yang sering di jumpai pada usia anak dibawah lima tahun.


Klasifikasi kejang demam;
1. Menurut Ngastiyah ( 1997: 231), klasikfikasi kejang demam adalah
Kejang demam sederhan yaitu kejang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum. Adapun pedoman untuk mendiagnosa kejang demam sederhana dapat diketahui melalui criteria Livingstone, yaitu :
a. umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun
b. kejang berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit.
c. Kejang bersifat umum
d. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam.
e. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kjang normal
f. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukan kelainan.
g. Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali
2. Kejang kompleks (epilepsi yang dicetuskan oleh demam)
Kejang kompleks adalah tidak memenuhi salah satu lebih dari ketujuh criteria Livingstone. Menurut Mansyur ( 2000: 434) biasanya dari kejang kompleks diandai dengan:
a. kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit
b. usia penderita lebih dari 6 tahun saat serangan kejang demam pertama
c. frekuensi serangan kejang melebihi 4 kali dalam satu tahun
d. kejang berlangsung lama atau bersifat fokal atau multiple ( lebih dari 1 kali dalam 24jam)
Di sini anak sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurology atau riwayat kejang dalam atau tanpa kejang dalam riwayat keluarga.
Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang tonik dan kejang mioklonik.

a. Kejang Tonik
Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi selaput otak atau kernikterus
b. Kejang Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
c. Kejang Mioklonik
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.
3. Etiologi
Penyebab kejang demam yang sering ditemukan adalah :
Faktor predisposisi :
1. Keturunan, orang tua yang memiliki riwayat kejang sebelumnya dapat diturunkan pada anakmya.
2. Umur, (lebih sering pada umur < 5 tahun), karena sel otak pada anak belum matang sehingga mudah mengalami perubahan konsentrasi ketika mendapat rangsangan tiba-tiba. Faktor presipitasi 1. Adanaya proses infeksi ekstrakranium oleh bakteri atau virus misalnya infeksi saluran pernapasan atas, otitis media akut, tonsilitis, gastroenteritis, infeksi traktus urinarius dan faringitis. 2. Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan elektrolit sehingga mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron misalnya hiponatremia, hipernatremia, hipoglikemia, hipokalsemia, dan hipomagnesemia. 3. Kejang demam yang disebabkan oleh kejadian perinatal (trauma kepala, infeksi premature, hipoksia) yang dapat menyebabkan kerusakan otak. Menurut staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI (1985: 50), faktor presipitasi kejang demam: cenderung timbul 24 jam pertama pada waktu sakit demam atau dimana demam mendadak tinggi karena infeksi pernafasan bagian atas. Demam lebih sering disebabkan oleh virus daripada bakterial. 4. Patofisiologi Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel / organ otak diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glucose,sifat proses itu adalah oxidasi dengan perantara pungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui system kardiovaskuler. Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang melalui proses oxidasi, dan dipecah menjadi karbon dioksida dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel. Yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dengan mudah dapat dilalui oleh ion Kalium (K+). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi NA+ rendah. Sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya,karena itu terdapat perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim NA, K, ATP yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah dengan perubahan konsentrasi ion diruang extra selular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan dari patofisiologisnya membran sendiri karena penyakit/keturunan. Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibanding dengan orang dewasa 15 %. Dan karena itu pada anak tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dalam singkat terjadi difusi di ion K+ maupun ion NA+ melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepasnya muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit biasanya disertai apnea, NA meningkat, kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis. 5. Manifestasi klinik Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat : misalnya tonsilitis, otitis media akut, ISPA, UTI, serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik. 6. Pemeriksaan Diagnostik Adapun pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien kejang demam antara lain : a) Pemeriksaan Laboratorium Elektrolit Tidak seimbang dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang Glukosa Hipoglikemia ( normal 80 - 120) Ureum / kreatinin Meningkat (ureum normal 10 – 50 mg/dL dan kreatinin normal =< 1,4 mg/dL) Sel Darah Merah (Hb) Menurun ( normal 14-18 g/dl, 12-16 g/dl ) Lumbal punksi Tes ini untuk memperoleh cairan cerebrospinalis dan untuk mengetahui keadaan lintas likuor. Tes ini dapat mendeteksi penyebab kejang demam atau kejang karena infeksi pada otak. - Pada kejang demam tidak terdapat gambaran patologis dan pemeriksaan lumbal pungsi - Pada kejang oleh infeksi pada otak ditemukan : 1) Warna cairan cerebrospinal : berwarna kuning, menunjukan pigmen kuning santokrom 2) Jumlah cairan dalam cerebrospinal menigkat lebih dari normal (normal bayi 40-60ml, anak muda 60-100ml, anak lebih tua 80-120ml dan dewasa 130-150ml) 3) Perubahan biokimia : kadar Kalium menigkat ( normal dewasa 3.5-5.0 mEq/L, bayi 3.6-5.8mEq/L) b) EEG (electroencephalography) EEG merupakan cara untuk merekam aktivitas listrik otak melalui tengkorang yang utuh untuk menentukan adanya kelainan pada SSP, EEG dilakukan sedikitnya 1 minggu setelah suhu normal. Tidak menunjukkan kelainan pada kejang demam sederhana, gelombang EEG yang lambat di daerah belakang dan unilateral menunjukkan kejang demam kompleks c) CT Scan Tidak dianjurkan pada kejang demam yang beru terjadi pada pertama kalinya d) Pemeriksaan Radiologis 1) Foto tengkorak diperhatikan simetris tulang tengkorak, destruksi tulang peningkatan tekanan intrakranial 2) Pneumonsefalografi dan ventrikulografi dilakukan atas indikasi tertentu yaitu untuk melihat gambaran sistem ventrikal, rongga subaraknoid serta gambaran otak sehingga dapat diketahui adanya atrofi otak, tumor serebri, hidrosefalus araknoiditis 3) Arteriografi untuk melihat keadaan pembuluh darah di otak, apakah ada penyumbatan atau peregangan. 7. Penatalaksanaan Medik Pada penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu : 1. Pengobatan Fase Akut Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan napas harus bebas agar oksigennisasi terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh tinggi diturunkan dengan kompres air dan pemberian antipiretik. Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut. Bila diazepam intravena tidak tersedia atau pemberiannya sulit gunakan diazepam intrarektal 5 mg (BB≤10 kg) atau 10 mg(BB≥10kg) bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang 15 menit kemudian. Bila tidak berhenti juga, berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBb/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan Nacl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena. Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital diberikan langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk neonatus 30 mg, bayi 1 bulan -1 tahun 50 mg dan umur 1 tahun ke atas 75 mg secara intramuscular. Empat jama kemudian diberikan fenobarbital dosis rumat. Untuk 2 hari pertama dengan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik per oral. Perhatikan bahwa dosis total tidak melebihi 200mg/hari. Efek sampingnya adalah hipotensi,penurunan kesadaran dan depresi pernapasan. Bila kejang berhenti dengan fenitoin,lanjutkna fenitoin dengan dosis 4-8mg/KgBB/hari, 12-24 jam setelah dosis awal. 2. Mencari dan mengobati penyebab Penyebab dari kejang demam baik kejang demam sederhana maupun kejang epilepsi yang diprovokasi oleh demam biasanya ISPA dan otitis media akut. Pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat utnuk mengobati infeksi tersebut. Biasanya dilakukan pemeriksaan fungsi lumbal untuk mengetahui faktor resiko infeksi di dalam otak, misalnya: meningitis. Apabila menghadapi penderita dengan kejang demam lama, pemeriksaan yang intensif perlu dilakukan, seperti: pemeriksaan darah lengkap. 3. Pengobatan rumat Pengobatan ini dibagi atas 2 bagian: 1. Pengobatan profilaksis intermiten: untuk mencegah terulangnya kejadian demam dikemudian hari, orang tua atau pengasuh harus cepat mengetahui bila anak menderita demam. Disamping pemberian antipiretik, obat yang tepat untuk mencegah kejang waktu demam adalah diazepam intrarektal. Diberiakan tiap 12 jam pada penderita demam dengan suhu 38,5oC atau lebih. Dosis Diazepam diberikan 5 mg untuk anak kurang dari 3 tahun dan 7,5 mg untuk anak lebih dari 3 tahun atau dapat diberikan Diazepam oral 0,5 mg/kgBB pada waktu penderita demam (berdasarkan resep dokter). 2. Pengobatan profilaksis jangka panjang yaitu dengan pemberian antikonvulsan tiap hari. Hal ini diberikan pada penderita yang menunjukkan hal berikut; a. Sebelum kejang demam penderita sudah ada kelainan neurologis atau perkembangannya b. Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis sementara atau menetap c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung d. Kejang demam pada bayi atau kejang multipel pada satu episode demam. Profilaksis jangka panjang setiap hari dengan fenobarbital 4-5mg.kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan 8. Komplikasi • Epilepsi Terjadi akibat adanya kerusakan pada daerah lobus temporalis yang berlangsung lama dan dapat menjadi matang • Retardasi mental Terjadi pada pasien kejang demam yang sebelumnya telah terdapat gangguan perkembangan atau kelainan neurologis • Hemiparese Biasanya terjadi padaa pasien yang mengalemi kejang lama (berlangsung lebih dari 30 menit) • Gagal pernapasan Akibat dari ektivitas kejang yang menyebabkan otot-otot pernapasan menjadi spasme • Kematian BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan adanya riwayat keluarga dengan kejang demam, kejang terjadi pada usia 2-5 tahun, adanya riwayat infeksi, lemah, badan/kulit teraba panas, kejang kurang dari 5 menit, kehilangan kesadaran, sianosis b. Pola nutrisi dan metabolik Mual dan muntah berhubungan dengan aktivitas kejang, nafsu makan menurun, berat badan menurun, membrane mukosa kering, konjungtiva tampak anemis, dan suhu tubuh meningkat c. Pola eliminasi Frekuensi meningkat konsistensi cair, diare d. Pola aktivitas dan latihan Kelemahan umum, kehilangan kesadaran singkat, gerakan infolunter/kontraksi otot, kaku, penurunan tonus otot e. Pola persepsi dan konsep diri Perasaan cemas, ketakutan dengan kondisi anak dikemudian hari f. Pola sistem nilai dan kepercayaan Nilai keyakinan mungkian meningkat seiring kebutuhan untuk mendapat sumber kesembuhan dari Tuhan 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa yang mungkin muncul: a. Hipertermi b/d adanya proses infeksi b. Resiko tinggi cedera fisik b/d aktifitas motorik yang meningkat (kejang) c. Resiko tinggi pola nafas tidak efektif b/d penurunan neuromuscular d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang kurang e. Resiko tinggi perubahan volume cairan kurang dari kebutuhanan tubuh b/d pengeluaran yang berlebihan f. Resiko tinggi gangguan perfusi jaringan ke otak b/d penurunan suplai O2 3. Intervensi Keperawatan a. Hipertermi b/d adanya proses infeksi HYD: suhu normal 36oC – 37oC pada klien dalam jangka waktu 2 hari Intervensi: 1. Kaji penyebab hipertermi R/ hipertermi merupakan salah satu gejala/kompensasi tubuh terhadap adanya infeksi baik secra lokal maupun secara sistematik 2. Observasi TTV R/ pada klien hipertermi terjadi kenaikan TTV terutama suhu, nadi, pernapasan. Hal ni disebabkan karana metabolisma tubuh meningkat. 3. Beri kompres hangat pada bagian dahi atau ketiak R/ daerah dahi dan aksila merupakan jaringan tipis dan terdapat pembulu darah sehingga proses vasodilatasi pembuluh darah lebih cepat sehinggga pergerakan-pergerakan molekul cepat sehinga evaporasi meningkat dengan cepat 4. Beri minum sedikit-sedikit tapi sering R/ untuk mengganti cairan yang hilang dan untuk mempertahankan cairan di dalam tubuh 5. Pakaikan pakaian yang tipis yang dapat menyerap keringat R/ pakaian yang tipis dapat membantu mempercepat proses evaporasi 6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antipiretik b. Resiko tinggi cedera fisik b/d aktifitas motorik yang meningkat (kejang) HYD: lidah tidak tergigit dan jatuh ke belakang Intevensi 1. Jelaskan pada keluarga akibat-akibat yang terjadi sat kejang berulang (lidah tergigit) R/ panjelasan yang baik dan tepat sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan dalam mengatasi kejang (lidah tergigit) 2. Sediakan spatel lidah yang telah dibungkur gaas verban R/ sptel llidah digunakan untuk menahan lidah jjika tergigit 3. Beri posisi miring kiri/kanan R/ mencegah aspirasi pada lambung 4. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti konvulsan R/ obat anti konvulsan sebagai pengatur gerakan motorik dalam hal ini anti konvulsan menghentikan gerakan motorik yang berlebihan c. Resiko tinggi pola nafas tidak efektif b/d penurunan neuromuscular HYD : mempertahankan pola napas efektif Intervensi: 1. Anjurkan pasien mengosongkan mulut dari benda atau zat tertentu R/ menurunkan resiko aspirasi atau masuknya suatu benda asing ke faring. 2. Letakkan pasien pada posisi miring dan permukaan datar R/ mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan napas 3. Masukkan spatel lidah/jalan napas buatan R/ mencegah tejatuhnya lidah dan memfasilitasi saat melakukan pengisapan lendir 4. Kolabori dalm pemberian oksigen sesuai indikasi. R/ menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun d. Resiko tinggi gangguan perfusi jaringan ke otak b/d penurunan suplai O2 HYD: gangguan perfusi jaringan otak tidak terjadi Intervensi: 1. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan terentu atau yang menyebabkan penurunan perfusi jaringan otak R/ penurunan tanda atau gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal menunjukkan bahwapasien itu perlu dipindahkan ke keperawatan intensif 2. Observasi TTV R/ periksa TTV sangat penting untuk mnegetahui tindakan selanjutnya 3. Pertahankan leher atau kepala pada posisi tengah kemudian sokong dengan handuk kecil atau bantal kecil R/ kepala yang miring pada satu sisi akan menekan vena jungularis dan menghambat aliran darah vena yang selanjutnya meningkatkan TIK 4. Berikan waktu istirahat diantara aktifitas keperawatan yang dilakukan R/ aktifitas yang dilakukan terus menerus dapat meningkatkan TIK dengan menimbulkan efek stimulasi kumulatif 5. Catat adanya refleks-refleks menelan, batuk, babinski dan reaksi pupil R/ penurunan refleks menandakan adanya kerusakan pada tigkat otak tengah atau batang otak yang sangat berpengaruh langsungj terhadap keamanan pasien. 6. Anjurkan orang terdekat (keluarga) untuk berbicara dengan pasien. R/ ungkapan keluarga yang menyenangkan pasien tampak mempunyai efek relaksasi pada beberapa pasien. e. Kecemasan orang tua berhubungan dengan dampak hospitalisasi Hasil yang diharapkan : orang tua tidak merasa cemas Intervensi : 1. Kaji persepsi orang tua terhadap penyakit klien R/ persepsi yang positif dalm membina kerja sama yang baik dalam proses keperawatan. 2. Beri sopport pada keluargaa bahwa klien akan sembuh kalau rutin dalam perawatan dan pengobatan R/ menaati anjuran atau larangan serta ketekunan mengkonsummsi obat dapat mempercepat proses penyembuhan. 3. Berikan kesempatan mengungkapakan perasaannya (apa yang dirasakan orang tua saat itu) R/ mengurangi beban psikologis dengan menyalurkan aspek emosional secara efektif dan cepat. 4. Beri informasi tentang cara mengatasi kejang seperti ana dibaringkan di tempat yang datar, kepalanya dimiringkan dan pasang gagang sendok yang telah dibungkus kain bersih. R/ dapat meningkatkan pengetahuan orang tua sehingga dapat mengurangi kecemasan. 5. Anjurkan kepada keluarga untuk selalu berdoa dan mendekatkan diri kepada Tuhan. R/ dengan mendekatkan diri pada Tuhan dapat mengurangi ansietas orang tua BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan Kejang demam adalah suatu keadaan dimana bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh (suhu rectal > 380 C yang sering di jumpai pada usia anak dibawah lima tahun.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang sering dijumpai pada saat seorang bayi atau anak mengalami demam tanpa infeksi sistem saraf pusat. Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam. Anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat, kemudian kaku, kelojotan dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa waktu, napas akan terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak akan segera normal kembali. Kejang biasanya berakhir kurang dari 1 menit, tetapi walaupun jarang dapat terjadi selama lebih dari 15 menit.
Oleh karena itu, sangat penting bagi para orang tua untuk melakukan pemeriksaan sedini mungkin pada anaknya agar hal-hal yang tidak di inginkan dapat diketahui secara dini sehingga kejang demam dapat dicegah sedini mungkin
2. Saran
Untuk meningkatkan kulaitas pelayanan keperawatan maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut;
1. Pada pengkajian perawat perlu melakukan pengkajian dengan teliti melihat kondisi klien serta senantiasa mengembangkan teknik terapeutik dalam berkomunikasi dengan klien.
2. Agar dapat memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta sikap profesionl dalam menetapkan diagnosa keperawtan
3. Diharapkan kerja sama yang baik dari berbagai pihak dari tim kesehatan lainnya khususnya dari pihak keluarga agar selalu mengunjungi klien dalam menunjang keberhasilan perawatan dan pengobatan.


















DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Azis Alimul. (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Edisi:1. Jakarta: Salemba medika.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (2007). Ilmu Kesehatan Anak. Edisi: 11. Jakarta: Infomedika
Syaifudin (2006). Anatomi Fisiologi untuk mahasiswa keperawatan. Editor: Monica Ester. Edisi: 3. Jakarta: ECG
www.Google.com

Askep Bronchopneumonia

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anak merupakan hal yang paling penting artinya bagi sebuah keluarga. Selain sebagai penerus keturunan , anak pada akhirnya juga sebagai generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, tidak satupun orang tua yang menginginkan anaknya jatuh sakit, lebih-lebih bila anaknya mengalami bronchopneumonia.
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 3 tahun dengan resiko kematian yang tinggi pada bayi yang berusia kurang dari 2 bulan, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun (1).Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Penggunaan antibiotik, membuat penyakit ini bisa dikontrol beberapa tahun kemudian. Namun tahun 2000, kombinasi bronchopneumonia dan influenza kembali merajalela dan menjadi penyebab kematian ketujuh di negara itu.
Bronchopneumonia adalah infeksi yang menyebabkan paru-paru meradang. Kantung-kantung udara dalam paru yang disebut alveoli dipenuhi nanah dan cairan sehingga kemampuan menyerap oksigen menjadi kurang. Kekurangan oksigen membuat sel-sel tubuh tidak bisa bekerja. Gara- gara inilah, selain penyebaran infeksi ke seluruh tubuh, penderita bronchopneumonia bisa meninggal. Sebenarnya bronchopneumonia bukanlah penyakit tunggal. Penyebabnya bisa bermacam-macam dan diketahui ada 30 sumber infeksi, dengan sumber utama bakteri, virus, mikroplasma, jamur, berbagai senyawa kimia maupun partikel.
B. TUJUAN
Tujuan penulisan dari makalah ini untuk memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah keperawatan anak dan membantu mahasiswa dan pembaca untuk memahami penyakit bronchopneumonia yang terjadi pada anak dan menambah pengalaman mahasiswa keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan bronchopneumonia

C. MANFAAT
1. Bagi Institusi
Menilai/mengevaluasi sejauh mana pemahaman mahasiswa dalam memahami ilmu yang telah diberikan khususnya dalam melaksanakan proses keperawatan dan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya terutama yang berkaitan dengan asuhan keperawatan pada anak dengan bronchopneumonia.
2. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan bronchopnemonia serta dalam melakukan pendokumentasian dan penyusunan makalah bronchopneumonia.

D. METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan penulis dalam penyusunan makalah ini adalah:
a. Memperoleh data dengan menggunakan referensi yang ada kaitannya dengan masalah yang diangkat penulis.
b. Memperoleh data melalui internet.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
I. KONSEP DASAR MEDIS
A. PENGERTIAN
Bronchopneumonia adalah radang pada paru-paru yang mempunyai penyebaran berbercak, teratur dalam satu area atau lebih yang berlokasi di dalam bronki dan meluas ke parenkim paru (Brunner dan Suddarth, 2001).
Bronchopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak Infiltrat (Whalley and Wong, 1996).
Bronchopneumina adalah frekwensi komplikasi pulmonary, batuk produktif yang lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi meningkat, pernapasan meningkat (Suzanne G. Bare, 1993).
Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing (Sylvia Anderson, 1994).
Dari beberapa penngertian tersebut dapat disimpulkan,Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,virus dan jamur dan benda asing

B. ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PERNAPASAN
a. Anatomi







Sistem pernapasan terdiri atas :
• Hidung
Merupakan saluran udara yang pertama, berfungsi mengalirkan udara ke dan dari paru-paru. Jalan napas ini berfungsi sebagai penyaring kotoran dan melembabkan serta menghangatkan udara yang dihirupkan ke dalam paru-paru.
• Faring atau tenggorokan
Struktur seperti tuba yang menghubungkan hidung dan rongga mulut ke laring.faring dibagi menjadi tiga region : nasofaring, orofaring, dan laringofaring.
• Laring atau pangkal tenggorokan
Struktur epitel kartilago yang menghubungkan faring dan trakea. Fungsi utama laring adalah untuk memungkinkan terjadinya vokalisasi,melindungi jalan napas bawah dari obstruksi benda asing dan memudahkan batuk. Laring sering juga disebut sebagai kotak suara. Dan terdiri atas : epiglotis , glotis, kartilago tiroid, kartilago krikoid,kartilaago aritenoid dan pita suara.
• Trakea atau batang tenggorokan
Merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16-20 cincin yang dari tulang-tulang rawan.
• Bronkus atau cabang tenggorokan
Merupakan lanjutan dari trakea terdiri dari bronkus kiri dan kanan.
• Paru-paru
Merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung alveoli. Paru-paru dibagi menjadi 2 bagian yaitu : paru-paru kanan dan kiri, dimana paru-paru kanan terdiri dari 3 lobus dan paru-paru kiri terdiri dari 2 lobus.
b. Fisiologi
Proses pernapasan paru merupakan pertukaran oksigen dan karbondioksida yang terjadi pada paru-paru. Proses ini terdiri dari 3 tahap yaitu :
a. Ventilasi
Ventilasi merupakan proses keluar dan masuknya oksigen dari atmosfer ke dalam alveoli atau dari alveoli ke atmosfer. Ada dua gerakan pernapasan yang terjadi sewaktu pernapasan, yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi atau menarik napas adalah proses aktif yang diselenggarakan oleh kerja otot. Kontraksi diafragma meluaskan rongga dada dari atas sampai ke bawah, yaitu vertikal. Penaikan iga-iga dan sternum meluaskan rongga dada ke kedua sisi dan dari depan ke belakang. Pada ekspirasi, udara dipaksa keluar oleh pengendoran otot dan karena paru-paru kempis kembali, disebabkan sifat elastik paru-paru itu. Gerakan-gerakan ini adalah proses pasif. Proses ventilasi dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu adanya perbedaan tekanan antara atmosfer dengan paru, adanya kemampuan thoraks dan paru pada alveoli dalam melaksanakan ekspansi, refleks batuk dan muntah.
b. Difusi gas
Difusi gas merupakan pertukaran antara oksigen di alveoli dengan kapiler paru dan CO2 di kapiler dengan alveoli. Proses pertukaran dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu luasnya permukaan paru, tebal membran respirasi, dan perbedaan tekanan dan konsentrasi O2.
c. Transportasi gas
Transportasi gas merupakan proses pendistribusian O2 kapiler ke jaringan tubuh dan CO2 jaringan tubuh ke kapiler. Transportasi gas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu curah jantung (kardiak output), kondisi pembuluh darah, latihan (exercise), eritrosit dan Hb.

C. ETIOLOGI
Pada umumnya tubuh terserang Bronchopneumonia karena disebabkan oleh penurunan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi organisme patogen.Penyebab Bronchopneumonia yang biasa ditemukan adalah:
1. Bakteri : Diplococus Pneumonia, Pneumococcus, Stretococcus Hemoliticus Aureus, Haemophilus Influenza, Basilus Friendlander (Klebsial Pneumoni), Mycobacterium Tuberculosis.
2. Virus : Respiratory syntical virus, virus influenza, virus sitomegalik.
3. Jamur : Citoplasma Capsulatum, Criptococcus Nepromas, Blastomices Dermatides, Aspergillus Sp, Candinda Albicans, Mycoplasma Pneumonia. Aspirasi benda asing.
4. Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya Bronchopnemonia adalah
a) Faktor predisposisi
-usia /umur
-genetik
b) Faktor pencetus
-gizi buruk/kurang
-berat badan lahir rendah (BBLR)
-tidak mendapatkan ASI yang memadai
-imunisasi yang tidak lengkap
-polusi udara
-kepadatan tempat tinggal

D. PATOFISIOLOGI
Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh virus penyebab Bronchopneumonia yang masuk ke saluran pernafasan sehingga terjadi peradangan broncus dan alveolus dan jaringan sekitarnya. . Inflamasi pada bronkus ditandai adanya penumpukan sekret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif dan mual. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
A. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
B. Stadium II/hepatisasi (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
C. Stadium III/hepatisasi kelabu (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
D. Stadium IV/resolusi (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula. Inflamasi pada bronkus ditandai adanya penumpukan sekret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif dan mual.
Bila penyebaran kuman sudah mencapai alveolus maka komplikasi yang terjadi adalah kolaps alveoli, fibrosis, emfisema dan atelektasis.Kolaps alveoli akan mengakibatkan penyempitan jalan napas, sesak napas, dan napas ronchi. Fibrosis bisa menyebabkan penurunan fungsi paru dan penurunan produksi surfaktan sebagai pelumas yang berfungsi untuk melembabkan rongga fleura. Emfisema ( tertimbunnya cairan atau pus dalam rongga paru ) adalah tindak lanjut dari pembedahan. Atelektasis mengakibatkan peningkatan frekuensi napas, hipoksemia, acidosis respiratori, pada klien terjadi sianosis, dispnea dan kelelahan yang akan mengakibatkan terjadinya gagal napas.

E. MANIFESTASI KLINIK
• Biasanya didahului infeksi traktus respiratoris atas
• Demam (390 – 400C) kadang-kadang disertai kejang karena demam yang tinggi
• Anak sangat gelisah,dan adanya nyeri dada yang terasa ditusuk-tusuk, yang dicetuskan oleh bernapas dan batuk
• Pernapasan cepat dan dangkal disertai pernapasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut.
• Kadang-kadang disertai muntah dan diare
• Adanya bunyi tambahan pernapasan seperti ronchi, whezing.
• Rasa lelah akibat reaksi peradangan dan hipoksia apabila infeksinya serius.
• Ventilasi mungkin berkurang akibat penimbunan mokus yang menyebabkan atelektasis absorbsi.

F. KOMPLIKASI
1. Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.
2. Empisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.
3. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
4. Infeksi sistemik
5. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
6. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.


G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
 Pemeriksaan radiologi yaitu pada foto thoraks, konsolidasi satu atau beberapa lobus yang berbercak-bercak infiltrat
 Pemeriksaan laboratorium didapati lekositosit antara 15000 sampai 40000 /mm3.
 Hitung sel darah putih biasanya meningkat kecuali apabila pasien mengalami imunodefiensi.
 Pemeriksaan AGD (analisa gas darah), untuk mengetahui status kardiopulmoner yang berhubungan dengan oksigen.
 Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah : diambil dengan biopsi jarum, untuk mengetahui mikroorganisme penyebab dan obat yang cocok untuk menanganinya.

H. PENATALAKSANAAN
A. Farmakologi
 Pemberian antibiotik misalnya penisilin G, streptomisin, ampicillin, gentamisin.
 Pemilihan jenis antibiotik didasarkan atas umur, keadaan umum penderita, dan dugaan kuman penyebab:
1. Umur 3 bulan-5 tahun,bila toksis disebabkan oleh streptokokus pneumonia, Hemofilus influenza atau stafilokokus.Pada umumnya tidak diketahui penyebabnya, maka secara praktis dipakai :
Kombinasi : penisilin prokain 50.000-100.000 KI/kg/24 jam IM, 1-2 kali sehari dan Kloramfenikol 50-100 mg/kg/24 jam IV/oral, 4 kali sehari. Atau kombinasi Ampisilin 50-100 mg/kg/24 jam IM/IV, 4 kali sehari dan Kloksasilin 50 mg/kg/24 jam IM/IV, 4 kali sehari atau kombinasi Eritromisin 50 mg/kg/24 jam, oral 4 kali sehari dan Kloramfenikol (dosis sama dengan diatas).
2. Anak –anak < 5 tahun, yang non toksis, biasanya disebabkan oleh : Streptokokus pneumonia: o Penisilin prokain IM atau o Fenoksimetilpenisilin 25.000-50.000 KI/24 jam oral, 4 kali sehari o Eritromisin atau o Kotrimoksazol 6/30 mg/kg/24 jam, oral 2 kali sehari. o Oksigen 1-2 L/menit.  IVFD dekstrose 5 % ½ NaCl 0,225% 350cc / 24 jam  ASI/PASI 8 x 20cc per sonde B. Non farmakologi 1. Istirahat, umumnya penderita tidak perlu dirawat, cukup istirahat dirumah. 2. Simptomatik terhadap batuk. 3. Batuk yang produktif jangan ditekan dengan antitusif 4. Bila terdapat obstruksi jalan napas, dan lendir serta ada febris, diberikan broncodilator. 5. Pemberian oksigen umumnya tidak diperlukan, kecuali untuk kasus berat. Antibiotik yang paling baik adalah antibiotik yang sesuai dengan penyebabnya. I. PENCEGAHAN Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti : cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur ,menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dll. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain: 1. Vaksinasi Pneumokokus 2. Vaksinasi H. Influenza 3. Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah 4. Vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit. II. KONSEP DASAR KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN A. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan DS : polusi udara, lingkungan berdebu,adanya anggota keluarga yang pernah menderita bronchopneumonia,tidak mendapat vaksinasi /imunisasi yang lengkap,tidak mendapaat ASI yang memadai,lingkungan yang padat penduduk. DO : demam, menggigil, berkeringat,sesak napas,batuk,jenis kelamin, gangguan sistem imun : SLE, AIDS, Penggunaan steroid atau kemoterapi, dominan pada usia > 3 tahun, rumah berdebu.
B. Pola nutrisi dan metabolic
DS : kehilangan nafsu makan ,mual /muntah, riwayat DM, tidak mendapat ASI yang memadai.
DO : gizi buruk, BBLR,defisiensi vitamin A, distensi abdomen, hiperaksi bunyi usus, kulit kering,turgor kulit tidak elastis.
C. Pola aktivitas dan latihan
DS : kelelahan, kelemahan, takipnoe,insomnia, stridor
DO: letargi, pernapasan cuping hidung, sianosis,sputum,ronchi, fremitus meningkat, takikardi
D. Pola tidur dan istirahat
DS: insomnia, batuk ,sesak, stridor
DO: batuk, sesak, stridor, gelisah
E. Pola kognitif
DS: sakit kepala, nyeri dada
DO: rewel, menangis, bingung, samnolens
F. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress
DO: stress ,ngompol, mengisap jari
DS : menangis, melempar mainan, isap jari





B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa yang dapat diangkat adalah :
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d akumulasi lendir di jalan napas, inflamasi trakeabronkial, nyeri pleuritik, penurunan energi, kelemahan.
2. Gangguan pertukaran gas b/d obstruksi saluran pernapasan
3. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi, mual dan muntah.
5. Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, kelemahan umum, batuk berlebihan dan dispnea.
6. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan evaporasi tubuh, kurangnya intake cairan.

C. PERENCANAAN KEPERAWATAN
 DP 1: Ketidakefektifan Bersihan jalan napas b/d akumulasi lendir di jalan napas,inflamasi trakeabronkial,nyeri pleuritik,penurunan energi,kelemahan.
HYD: -pasien menunjukkan perilaku mencapai bersihan jalan napas
-pasien menunjukkan jalan napas dengan bunyi napas bersih,tidak ada dispnea dan sianosis
Rencana tindakan :
 Kaji atau pantau pernapasan klien
Rasionalnya: Mengetahui frekuensi pernapasan klien sebagai indikasi dasar gangguan pernapasan.
 Auskultasi bunyi napas tambahan (ronchi,wheezing)
Rasionalnya: adanya bunyi napas tambahan yang menandakan gangguan pernapasan.
 Berikan posisi yang nyaman misalnya posisi semi fowler
Rasionalnya : posisi semi fowler memungkinkan ekspansi paru lebih maksimal
 Terapi inhalasi dan latihan napas dalam dan batuk efektif
Rasionalnya : napas dalam memudahkan ekspirasi maksimum paru-paru/jalan napas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme membersihkan jalan napas alami, membantu silia mempertahankan jalan napas paten.
 Memberian cairan per oral/IV sesuai usia anak,tawarkan air hangat daripada dingin. Rasionalnya : cairan khususnya yang hangat memobilisasi serta mengeluarkan lendir.
 Kolaborasi dengan dokter dalam pengisapan lendir sesuai indikasi
Rasionalnya : merangsang batuk serta membersihkan jalan napas secara mekanik pada pasien yang tidak mampu melakukan pernapasan karena batuk tidak efektif atau penurunan kesadaran.

 DP 2 : Gangguan pertukaran gas b/dobstruksi saluran pernapasan
HYD : pasien akan menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang normal dan tidak ada gejala distress pernapasan.
Rencana tindakan :
 Monitor / kaji tanda-tanda vital, kesulitan bernapas, retraksi stomal.
Rasionalnya : data dasar untuk pengkajian lebih lanjut.
 Observasi warna kulit,membran mukoasa dan kuku,catat adanya sianosis
Rasionalnya : sianosis kuku menunjukkan vasokontriksi atau respon tubuh terhadap demam/menggigil namun sianosis daun telinga, membran mukosa, dan kulit sekitar mulut menunjukkan hipoksemia sistemik.
 Kaji status mental
Rasionalnya : gelisah, mudah terangsang, bingung dan samnolens dapat menunjukkan hipoksemia/penurunan oksigenasi serebral.
 Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi,napas dalam dan batuk efektif.
Rasionalnya :tindakan ini meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan pengeluaran sekret untuk memperbaiki ventilasi.
 Pertahankan istirahat tidur
Rasionalnya : mencegah kelelahan dan menurunkan kebutuhan oksigen untuk kemudahan perbaikan infeksi.


 DP 3 : Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
HYD : Pasien tidak memperlihatkan tanda peningkatan suhu tubuh
Rencana tindakan :
 Pantau suhu pasien (perhatiakan menggigil/diaforesis)
Rasional : Suhu 38,9 – 41,10 C menunjukkan proses penyakit, infeksius akut. Pola demam dapat membantu diagnosis.
 Pantau suhu lingkungan, batasi aktivitas.
Rasional : suhu ruangan di ubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.
 Berikan kompres hangat
Rasional : dapat membantu mengurangi demam. Penggunaan air dingin/ es kemungkinan menyebabkan peningkatan suhu secara aktual.
 Berikan antipiretik misalnya parasetamol
Rasional : mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus, parasetamol baik untuk anak karena parasetamol memiliki efek yg minimal terutama bagi anak.
 DP 4 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi, mual dan muntah.
HYD : Pasien menunjukkan peningkatan nafsu makan dan mempertahankan berat badan
Rencana tindakan :
 Indentifikasi factor yang menyebabkan kesulitan menelan (nyeri)
Rasional : pilihan intervensi tergantung pada penyebaran masalah
 Auskultasi bunyi usus , observasi / palpasi distensi abdomen
Rasional : Bunyi usus mungkin menurun / tak ada bila proses infeksi berat/memanjang.
 Berikan makan porsi kecil tapi sering
Rasional : Tindakan ini dapat meningktkan masukan meskipun nafsu makan mungkin lambat untuk kembali.
 Timbang berat badan setiap hari
Rasional : Peningkatan berat badan secara bertahap menandakan adanya perbaikan status nutrisi pasien

 DP 5 : Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, kelemahan umum,batuk berlebihan dan dispnea.
HYD : pasien menunjukan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan tidak adanya dispnea, kelemahan berlebihan dan tanda vital normal.
Rencana tindakan :
 Monitor keterbatasan aktivitas, kelemahan saat beraktivitas.
Rasionalnya : merencanakan intervensi yang tepat.
 Bantu pasien dalam melakukan aktivitas.
Rasionalnya : ADL-nya dapat terpenuhi.
 Bantu pasien perawatan diri yang diperlukan
Rasionalnya: meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan O2
 Lakukan istirahat yang adekuat setelah beraktivitas.
Rasionalnya : membantu mengembalikan energi.
 Berikan diet yang adekuat dengan kolaborasi ahli diet.
Rasionalnya : metabolisme membutuhkan energi.
 Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan
Rasionalnya : tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan metabolic,menghemat energi untuk penyembuhan.
 DP 6 : Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan evaporasi tubuh, kurangnya intake cairan.
HYD : kebutuhan cairan pasien terpenuhi dan adekuat, tanda vital (suhu) rentang normal.
Rencana tindakan :
 Kaji perubahan tanda vital, contoh peningkatan suhu/demam
Rasional : peningkatan suhu / demam meningkatkan laju metabolik Sn kehilangan cairan melalui evaporasi .
 Kaji turgor kulit, kelembapan membran mukosa (bibir, lidah)
indikator langsung keadekuatan volume cairan , meskipun membran mukosa mulut mungkin kering karena napas mulut dan oksigen tambahan.
 pantau masukan dan haluaran, catat warna, karakter urine. Hitung keseimbangan cairan. Waspadai kehilangan yang tak tampak. Ukur BB sesuai indikasi.
Rasional : memberikan informasi tentang keadekuatan volume cairan dan kebutuhan penggantian
 Pertahankan pemasukan cairan yang adekuat.
Rasional : Pada anak volume cairan adalah 20-25 % dari BB anak.
 Beri obat sesuai indikasi , misalnya antipiretik
Rasional : berguna menurunkan kehilangan cairan serta peningkatan suhu.
 Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan
Rasional : pada adanya penurunan masukan / banyak kehilangan penggunaan parenteral dapat memperbaiki/ mencegah kekurangan.

D. DISCHARGE PLANNING
Hal-hal yang perlu disampaikan kepada keluarga dan pasien sebelum pulang adalah :
 Memberitahukan kepada pasien dan keluarga untuk melanjutkan pengobatan di rumah sesuai dosis dan instruksi dokter
 Memberitahukan jadwal kontrol di dokter kepada pasien dan keluarga
 Mengajarkan kepada keluarga seperti :
-minum air hangat
-istirahat secukupnya
-mencuci tangan dengan sering
-membersihkan mulut dengan sering
 Memberitahukan keluarga pasien tentang pentingnya memberi ASI eksklusif dan nutrisi pada anak untuk mempertahankan sistem kekebalan tubuh dan mempercepat proses penyembuhannya.
 Memberitahukan pada keluarga pasien tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal ,hindari merokok,polusi udara,lingkungan berdebu karena dapat menurunkan kesehatan dan melemahkan kondisi saluran napas anak.
 Memberitahukan pentingnya pemberian imunisasi pada anak, karena dengan imunisasi kekebalan tubuh semakin kuat dan mikroorganisme sulit masuk dalam tubuh.
 Mengajarkan tindakkan sederhana yang dapat dilakukan bila anak sakit misalnya : memberikan kompres hangat untuk menurunkan demam, memberikan minuman yang cukup untuk mencegah dehidrasi, memberikan minuman hangat untuk membantu mengencerkan sekret yang kental.




















DAFTAR PUSTAKA

• Somantri, Irman. 2008. Asuhan keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : Salemba medika
• Doenges. E. Marylin. 1992.Nursing Care Plan. Jakarta: EGC
• Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fak. Kedokteran Universitas Indonesia. 1985. Ilmu Kesehatan Anak 3. Jakarta
• Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
• http://teguhsubianto.blogspot.com/2009/08/asuhan-keperawatan-bronchopneumonia.html
• http://khaidirmuhaj.blogspot.com/2009/03/askep-bronchopneumonia.html
• www.total-health-care.com

Askep Hidrosefalus

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hydrocephalus merupakan sindroma klinis yang dicirikan dengan dilatasi yang progresif pada system ventrikuler cerebral dan kompresi gabungan dari jaringan-jaringan serebrel selama produksi CSF berlangsung yang meningkatan kecepatan absorbsi oleh vili arachnoid. Akibat berlebihannya cairan serebrospinalis dan meningkatnya tekanan intrakranial menyebabkan terjadinya peleburan ruang-ruang tempat mengalirkan cairan.
Dalam memberikan pelayanan keperawatan dibutuhkan tenaga perawat yang betul-betul terampil dan ahli dalam bidangnya khususnya dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem persarafan : Hydrocephalus. Seperti yang kita ketahui bahwa pasien dengan Hydrochepalus memerlukan penanganan dan tindakan yang cepat dan tepat karena tidak jarang anak dengan Hydrochepalus dapat terjadi komplikasi yang berat bahkan kematian. Dan juga selama hidupnya anak dengan Hydrochepalus hanya bergantung pada orang tua dan perawat. Bukan tidak mungkin anak dengan Hydrochepalus dapat disembuhkan, melalui terapi dan perawatan yang cepat dan tepat serta pengawasan yang ketat dan pemahaman orang tua tentang petunjuk apa yang harus dilakukan jika terdapat gangguan pada anak.
Di Indonesia angka kejadian Hydrocephalus kongenital yang terlihat sejak bayi kira-kira 30%, sedangkan yang terlihat dalam 3 bulan pertama setelah lahir merupakan 50% dari semua kasus Hydrocephalus kongenital. Hydrocephalus dijumpai 1 diantara 2000 janin dan merupakan 12 % dari semua kelainan kongenital yang dijumpai pada bayi baru lahir.
Dalam usaha peningktan derajat kesehatan, hal ini merupakan tantangan bagi perawat untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan pada klien Hydrocephalus.


B. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini yaitu :
a. Memperoleh gambaran mengenai penyakit hydrocephalus
b. Untuk mengetahui terjadinya hydrocephalus pada bayi maupun anak
c. Untuk mengetahui tanda – tanda dan gejala hydrocephalus, pembagian serta bagaimana memberikan penanganan yang tepat
C. Manfaat penulisan
• Agar kita mengetahui macam – macam hydrocephalus
• Agar kita dapat mengetahui penyebab hydrocephalus
• Agar kita mengetahui cara pemberian asuhan perawatan yang tepat pada klien hydricephalus
D. Sistematika penulisan
Adapun cara penulisan makalah ini yaitu :
• Bab I pendahuluan
 Latar belakang
 Tujuan penulisan
 Manfaat peulisan
 Sistematika penulisan
• Bab II pembahasan
a. Konsep dasar medik
 Pengertian
 Anatomi dan fisiologi
 Pembagian hydricephalus pada anak dan bayi
 Etiologi
 Patofisiologi
 Manifestasi klinis
 Pemeriksaan diagnostik
 penatalaksanaan
 Komplikasi
b. Konsep dasar keperawatan
 Pengkajian
 Diagnosa
 intervensi
• Bab III penutup
Kesimpulan dan saran


























BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep dasar medik
1. Pengertian
Hydrocephalus adalah akumulasi cairan serebro spinal dalam ventrikel serebral, ruang subarachnoid atau ruang subdural (Suriadi daan Yuliani, 2001).
Hydrochepalus yaitu timbul bila ruang cairan serebro spinalis interna atau eksternal melebar ( Mumenthaler, 1995).
Hydrocephalus merupakan keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan cerebro spinalis tanpa atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi sehingga terdapat pelebaran ruangan tempat mengalirnya cairan serebro spinal (Ngatisyah, 1997).
Hydrocephalus berkembang jika aliran serebro spinal terhambat pada tempat sepanjang perjalanannya, timbulnya hydrocephalus akibat produksi berlebihan cairan serebrospinal dianggap sebagai proses yang intermitten setelah suatu infeksi atau trauma. Ini dapat terjadi kelainan yang progresif pada anak – anak yang disebabkan oleh papyloma pleksus dapat diatasi dengan operasi (Mumenthaler, 1995).
Pembagiaan hydrocephalus pada anak dan bayi
Hydrocephalus pada anak atau bayi pada dasarnya dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Kongenital
Merupakan hydrocphalus yang sudah diderita sejak bayi dilahirkan sehingga pada saat lahir keadaan otak bayi terbentuk kecil, terdesak oleh banyaknya cairan dalam kepala dan tingginya tekanan intrakranial sehingga pertumbuhan sel otak terganggu.



b. Non Kongenital
Bayi atau anak mengalaminya pada saat sudah besar dengan penyebabnya yaitu penyakit – penyakit tertentu misalnya trauma, TBC yang menyerang otak dimana pengobatannya tidak tuntas.

Pada hydrocephalus didapat pertumbuhan otak sudah sempurna, tetapi kemudian teganggu oleh sebab adanya peninggian tekanan intrakranial sehingga perbedaan antara hydrocephalus kongenital dan hydrocephalus non kongenital terletak pad pembentukan otak dan kemungkinan prognosanya.

Berdasarkan letak obstruksi CSF hydrocephalus pada bayi dan anak ini juga terbagi dalam 2 bagian yaitu :
a. Hydrocephalus Komunikan (kommunucating hydrocephalus)
Pada hydrocephalus Komunikan obstruksinya terdapat pada rongga subarachnoid, sehingga terdapat aliran bebas CSF dalam sistem ventrikel sampai ke tempat sumbatan.
b. Hydricephalus Non komunukan (nonkommunican hydrocephalus)
Pada hydrocephalus nonkomunikan obstruksinya terdapat dalam sistem ventrikel sehingga menghambat aliran bebas dari CSF.
Biasanya gangguan yang terjadi pada hydrocephalus kongenital adalah pada sistem ventikel sehingga terjadi bentuk hydrocephalus nonkomunikan.

2. Anatomi dan fisiologi
Sistem persarafan terdiri dari otak, medula spinalis, dan saraf perifer. Struktur – struktur ini bertanggung jawab untuk kontrol dan koordinasi aktivitas sel tubuh melalui impuls – impuls elektrik. Perjalanan impuls – impuls tersebut berlangsung melalui serat – serat saraf dan jaras – jaras secara langsung dan terus menerus.
a. Anatomi otak
b. Meningen
Di bawah tengkorak, otak dan medula spinalis ditutup 3 membran atau meningen. Komposisi meningen berupa jaringan serabut penghubung yang melindungi, mendukung dan memelihara otak. Meningen terdiri dari duramater, arachnoid, dan piamater.
1) Duramater
Lapisan paling luar, menuutup otak dan medula spinalis. Sifat durameter liat, tebal, tidak elastis, berupa serabut dan berwarna abu abu. Bagian pemisah duramater yaitu falx serebri yang memisahkan kedua hemisfer di bagian longitudional dan pentorium, yang mirip lipatan dari durameter yang membentuk jaring - jaring membran yang kuat. Jaring ini mendukung hemisfer dengan bagian bawah otak (fossa posterior). Jika tekanan dalam rongga otak meningkat jaringan otak tertekan ke arah tentorium atau berpindah ke bawah, keadaan ini disebut herniasi.
2) Arachnoid
Merupakan membran bagian tengah, bersifat tipis, dan lembut ini menyerupai sarang laba - laba, oleh karena itu disebut arachnoid. Membran ini berwarna putih karena tidak dialiri darah. Pada dinding arachnoid terdapat pleksus koroid, yang bertanggung jaawab memproduksi cairan serebrospinal atau CSF. Membran yang mempunyai bentuk seperti jari tangan ini disebut arachnoid vilii yang mengabsorpsi CSF pada usia dewasa normal, CSF diproduksi 500 ml /hari tetapi 150 ml diabsorpsi ke vilii. Vilii mengabsorpsi CSF juga pada saat darah masuk ke dalam sistem (akibat trauma, pecahnya aneurisma, dan stroke) dan mengakibatkan sumbatan. Bila vilii arachnoid tersumbat (penigkatan ukuran ventrikel) dapat mengakibatkan hydrocephalus.
3) Piamater
Membran yang paling dalam, berupa dinding yang tipis, transparan, yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak.(brunner & sudarth 2002,hal 2074)


c. Fisiologi cairan cerebro spinal
Cairan CSF adalah cairan yang bersih dan tidak berwarna dengan berat jenis 1,007 diproduksi dalam ventrikel dan bersirkulasi di sekitar otak dan medulaspinalis melalui sistem ventrikuler. Ventrikel ini terdiri dari 4 ventrikel yaitu ventrikel lateral kanan, kiri, ventrikel ke tiga dan ventrikel ke empat. Kedua ventrikel lateral keluar ke ventrikel ke tiga dan foramen antara ventrikular dan foramen monroe. Ventrikel ke tiga dan ke empat berhubungan melalui saluran silvyus. Ventrikel ke empat menyuplay CSF ke ruang subarachnoid dan turun ke medula spinalis pada permukaan daerah dorsal. CSF diproduksi di dalam pleksus koroid pada ventrikel lateral ke tiga dan ke empat. Sistem ventrikular dan subarchnoid mengandung kira kira 150 liter air, 15- 25 ml dari CSF terdapat masing - masing di ventrikel lateral.
Secara organik dan nonorganik, kandungan CSF sama dengan plasma tapi mempunyai perbedaan konsentrasi. CSF mengandung protein, glukosa dan klorida juga mengandung imunoglobulin. Secara normal CSF mempunyai sedikit sel-sel darah putih dan tidak mengandung sel darah merah. CSF kembali ke otak dan kemudian disirkulasi mengitari otak, dimana ini diabsorpsi melalui vilii arachnoid dan vilii arachnoid bercampur dengan darah vena di dalam sinus sagitalis superior. (Brunner & Sudarth ,2002,hal 2080).

Ventikel lateralis - foramen monroe - ventrikel ke tiga – menuju aquaduktus sylvius - ventrikel ke empat – foramen luscka dan magendie – rongga subarachnoid.



Fungsi CSF adalah :
a. Berfungsi sebagai cairan buffer yaitu membentuk bantalan pelindung terhadap jaringan otak.
b. Bertindak sebagai reserfoar untuk mengatur si kranium jika volume otak atau volume darah meningkat. Mis. Pada tumor otak dan hidrasi yang berlebihan maka CSF mengalami drainase, jika otak menciut, maka lebih banyak cairan akan di tahan.
c. Di duga bertindak sebagai medium pertukaran zat makanan dalam susunan saraf dan bahan buangan dari sel saraf di eksresi ke dalam CSF.
Kandungan CSF
Berat jenis : 1,007
pH : 7.31
Chlorida : 110 – 130 MEQ/L atau 700 – 750 mg %/100 cc
Glukosa : 60 – 80 / 100 ml
Tekanan : 50 – 200 mm
Vol. Total : Dewasa : 90 – 150 ml
Anak umur 8 – 10 thn : 100 – 140 ml
Bayi : 40 – 60 ml
Neonatus : 20 – 30 ml
Total protein : 15 -45 mg/100 ml  lumbal
10 – 25 mg/100 ml  sisterna
0 – 5 mg/ 100 ml  ventrikel
3. Etiologi
Hydrocephalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran CSF pada salah satu tempat antara tempat pembentukan CSF dalam sistem ventrikel dan tempat absorpsi dalam ruang subarachnoid. Akibat penyumbatan terjadi dilatasi ruangan CSF di atasnya. Tempat yang sering tersumbat dan terdapat dalam klinik ialah foramen Monroe, foramen Luscka dan Magendie, sisterna magna dan sisterna basalis. Teoritis pembentukan CSF yang terlalu banyak dengan kecepatan absorpsi yang normal akan menyebabkan terjadinya hydrocephalus, namun dalam klinik sangat jarang terjadi, misalnya terlihat pelebaran ventrikel tanpa penyumbatan pada adenomata pleksus korodialis. Contoh lain ialah terjadinya hydrocephalus setelah operasi koreksi daripada spina bifida dengan meningokel akibat berkurangnya permukaan untuk absorpsi. Penyebab penyumbatan aliran CSF yang sering terdapat pada bayi dan anak adalah kelainan bawaan (kongenital), infeksi, neoplasma, dan perdarahan.

a) Kelainan bawaan(kongenital)
1. Stenosus aquaduktus Sylvii
Merupakan penyebab yang terbanyak pada hydrocephalus bayi dan anak (60 – 90 %). Aquaduktus dapat merupakan saluran buntu sama sekali atau abnormal lebih sempit dari biasa. Umumnya gejala hydrocephalus terlihat sejak lahir atau progresif dengan cepat pada bulan – bulan pertama setelah lahir.
2. Spina bifida dan kranium bifida
Hydrocephalus pada kelainan ini biasanya berhubungan dengan syndrom Arnold – Chiari akibat tertariknya medula spinalis dengan medula oblongata dan serebelum letaknya lebih rendah dan menutupi foramen magnum sehingga terjadi penyumbatan sebagian atau total.
3. Sindrom Dandy – Walker
Merupakan arestesia kongenital foramen Lusckha dan mangendie dengan akibat hydrocephalus obstruktif dengan pelebaran sistem ventrikel terutama ventrikel IV yang dapat sedemikian besarnya hingga merupakan suatu kista yang besar di daerah fossa posterior.
4. Kista arachnoid
Dapat terjadi kongenital tetapi dapat juga timbul trauma sekunder suatu hematoma.
5. Anomali pembuluh darah
Dalam kepustakaan dilaporkan terjadinya hydrocephalus akibat aneurisma arterio – vena yang mengenai arteria serebralis posterior dengan vena Galeni atau sinus transversus dengan akibat obstruksiaquaduktus.
b) Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen sehingga dapat terjadi obliterasi ruangan subarachnoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis purulenta terjadi bila aliran CSF tergnaggu oleh obstruksi mekanik eksudat purulen di akuaduktus Sylvii atau sisterna basalis. Lebih banyak hydrocephalus terdapat pasca menigitis. Pembesarran kepala dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari meningitisnya. Secara patologisnya terlihat penebalan jaringan piamater dan arachnoid sekitar sisterna basalis dan daerah lain. Pada meningits serosa tuberkulosa, perlekatan meningen terutama terdapat di daerah basal sekitar sisterna kiasmatika dan interpendunkularis, sedangkan pada menigitis purulenta lokalisasinya lebih besar.
c) Neoplasma
Hydrocephalus oleh obstruksi mekanis yang dapat terjadi di setiap tempat aliran CSF. Pengobatan dalam hal ini ditunjukkan kepada penyebabbya dan apabila tumor tidak mungkin dioperasi, maka dapat dilakukan tindakan paliatif dengan mengalirkan CSF melalui saluran buatan atau pirau. Pada anak yang terbanyak menyebabkan penyumbatan ventrikel IV atau akuaduktus Sylvii bagian terakhir biasanya suatu glioma yang berasal dari serebelum, sedangkan penyumbatan bagian depan ventrikel III biasanya disebabkan suatu kraniofaringoma.
d) Perdarahan
Telah banyak dibuktikan bahwa perdarahan serebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat menyebabkan fibrosis leptomenigen terutama pada daerah basal otak, selain penyumbatan yang terjadi akibat terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri.


4. Patofisiologi
Ada tiga faktor yang menyebabkan hydrochepalus yaitu infeksi, perdarahan dan neoplasma.
Ketidakseimbangan antara produksi dan penyerapan dapat terjadi perlahan atau progresif, menyebabkan ventrikel melebar, kemudian menekan jaringan otak sekitarnya. Tulang tengkorak bayi di bawah dua tahun yang belum menutup akan memungkinkan kepala bayi membesar. Gangguan itu menyebabkan cairan tersebut bertambah banyak dan selanjutnya akan menekan jaringan otak di sekitarnya khususnya pusat – pusat saraf yang vital.
Hydrochhepalus internal menyebabkan peningkatan tekanan intraventrikuler dan pembesaran sistem ventrikuler. Mantel serebral ( meningen ) terengang dan menipis. Sentrum oval talamus dan ganglia basal tertekan. Akson kortikospinal tertekan dan teregang, serta mielinasinya terganggu. Giri hemisfer serebral mendatar dan vaskular terenggang. Septum peludisum menjadi tipis, dan dasar tengkorak rongga subarachnoid serta sisterna di luar hemisfer serebral berdilatasi, umumnya dengan tidak mengindahkan jenis dari hydrochepalus. Nekrosis subependimal serta edema akibat pendataran dan robeknya lapisan ependimal serta pembesaran ruang extraseluler.
Secara klinis peninggian tekanan intraventrikuler, volume CSS, dan ukuran ventrikel menimbulkan kelainan berikut : pembesaran kepala, penonjolan fontanela separasi future, tanda sunset eye, scalp yang mengkilap, dilatasi vena scalp, strabismus convergen/divergen, tangis yang high pitched, dan kegagalan untuk berkembang.
5. Manifestasi klinis
a. Pada bayi
1. Kepala menjadi makin besar dan akan terlihat pada umur 3 tahun.
2. Keterlambatan penutupan fontanela anterior, sehingga fontanella menjadi tegang, keras, sedikit tinggi dari permukaan tengkorak.
3. Tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial :
a) Muntah
b) Gelisah
c) Menagis dengan suara meninggi
d) Peningkatan sistole pada tekanan darah, penurunan nadi, peningkatan pernafasan
4. Peningkatan tonus otot ekstremitas
5. Dahi menonjol bersinar atau mengkilat dan pembuluh – pembuluh darah terlihat jelas
6. Alis mata dan bulu mata ke atas, sehingga sklera terlihat seolah – olah di atas iris
7. Bayi tidak dapat melihat ke atas (“sunset eyes”)
8. Strabismus, nystagmus, atropi optik
9. Bayi sulit mengangkat dan menahan kepalanya ke atas
b. Pada anak yang telah menutup suturanya
Tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial :
1. Nyeri kepala
2. Muntah
3. Letargi, lelah, apatis, perubahan personalitas
4. Ketegangan dari sutura cranial dapat terlihat pada anak berumur 10 tahun
5. Penglihatan ganda, konstruksi penglihatan perifer
6. Strabismus
7. Perubahan pupil

6. Pemeriksaan diagnostik
Selain dari manifestasi klinis, keluhan pasien maupun dari hasil pemeriksaan fisik dan psikis, untuk keperluan diagnostik hydrocephalus dilakukan pemeriksaan – pemeriksaan penunjang seperti :
a) Rontgen foto kepala
Dengan prosedur ini dapat diketahui :
1. Hydrocephalus tipe kongenital/infantile yaitu ukuran kepala, adanya pelebaran sutura, tanda – tand peningkatan tekanan intrakranial kronik berupa impressio digitate atau erosi prosessus klionidalis posterior.
2. Hydrocephalus tipe juvenile/adult oleh karena sutura telah menutup maka dari foto rontgen kepala diharapkan adanya gambaran kenaikan tekanan intrakranial.
b) Transilmulasi
Syarat untuk transimulasi adalah fontanella masih terbuka, pemeriksaan ini dilakukan dalam ruangan yang gelap setelah pemeriksa beradaptasi selama 3 menit. Alat yang dipakai yaitu lampu senter yang dilengkapi rubber adaptor. Pada hydrocephalus, lebar halo dari tepi sinar akan terlihat lebih lebar 1 – 2 cm.

c) Lingkaran kepala
Diagnosis hydrocephalus pada bayi dapat dicurigai jika penambahan lingkar kepala melampaui satu atau lebih garis – garis kisi pada chart (jarak antara dua garis kisi 1 cm) dalam kurun waktu 2 – 4 minggu. Pada anak yang besar lingkaran kepala dapat normal, hal ini disebabkan karena hydrocephalus terjadi setelah penutupan sutura secara fungsional.
Tetapi jika hydrocephalus telah ada sebelum penutupan sutura kranialis maka penutupan sutura tidak akan terjadi secara menyeluruh.
d) Ventrikulografi
Yaitu dengan memasukkan kontras berupa O2 atau kontras lainnya dengan alat tertentu menembus melalui fontanella anterior langsung masuk ke dalam ventrikel. Setelah kontras masuk langsung difoto, maka akan terlihat kontras mengisi ruang ventrikel yang melebar. Pada anak yang besar, karena fontanellanya sudah menutup maka untuk memasukkan kontras dibuatkan lubang dengan bor pada kranium bagian frontal atau oksipitalis. Ventrikulografi ini sangat sulit dan mempunyai resiko tinggi. Di rumah sakit yang telah memiliki fasilitas CT Scan, prosedur ini telah ditinggalkan.
e) Ultrasonografi
Dilakukan melalui fontanella anterior yang masih terbuka. Dengan USG diharapkan dapat menunjukkan sistem ventrikel melebar. Pendapat lain mengatakan pemeriksaan USG pada penderita hydrocephalus ternyata tidak mempunyai nilai di dalam menentukan keadaan sistem ventrikel. Hal ini disebabkan karena USG tidak dapat menggambarkan anatomi sistem ventrikel secara jelas, seperti halnya pada pemeriksaan CT Scan.
f) CT Scan kepala
Pada hydrocephalus obstruktif CT Scan sering menunjukkan adanya pelebaran dari ventrikel lateralis dan ventrikel III. Dapat terjadi di atas ventrikel lebih besar dari pada occipital horns pada anak yang sudah besar. Ventrikel IV ukurannya kadang normal dan adanya penurunan densitas oleh karena terjadi reabsorpsi transependimal dari CSS.
Pada hydrocephalus komunukans, gambaran CT Scan menunjukkan dilatasi ringan dari semua sistem ventrikel termasuk ruang subarachnoid di proksimal dari daerah sumbatan.
g) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Untuk mengetahui kondisi patologis otak dan medula spinalis dengan mengggunakan teknnik scanning dengan kekuatan magnet untuk membuat bayangan struktur tubuh.

7. Penatalaksanaan
Penanganan hydrocephalus masuk pada kategori “live saving and live sustaining” yang berarti penyakit ini memerlukan diagnosis dini yang dilanjutkan dengan tindakan bedah secepatnya. Keterlambatan akan menyebabakan kecacatan dan kematian sehingga prinsip pengobatan hydrocephalus harus dipenuhi, yakni :
a. Mengurangi produksi cairan serebrospinal dengan merusak pleksus koroidalis dengan tindakan reseksi atau prmbedahan atau dengan obat azetasolamid (diamox) yang menghambat pembentukan cairan serebrospinal.
b. Memperbaiki hubungan antara tempat produksi cairan serebro spinal dengan tempat absorpsi yaitu menghubungkan ventrikel dan subarachnoid.

c. Pengeluaran cairan serebrospinal ke dalam organ eksternal, yaitu :
1) Drainase venttrikule – peritoneal
2) Drainase Lombo – Pleural
3) Drainase Ventrikulo – pleural
4) Drainase Ventrikulo – uretrostomi
5) Drainase ke dalam anterium mastoid
6) Mengalirkan cairan serebro spinal ke dalam vena jungularis dan jantung melalui kateter yang berventil (Holter Valve/katup Holter) yang menungkinkan pengaliran cairan serebrospinal ke satu arah. Cara ini merupakan cara yang di anggap terbaik namun kateter harus diganti sesuai dengan pertumbuhan anak dan harus diwaspadai terjadinya infeksi sekunder dan sepsis.
d. Tindakan bedah pemasangan selang pintasan atau drainase dilakukan setelah diagnosis lengkap dan pasien telah dibius total. Dibuat sayatan kecil di daerah kepala dan dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan selaput otak, lalu selangan pintasan dipasang. Disusul kemudian dibuat sayatan kecil di daerah perut, rongga perit dibuka lalu ditanam selang pintasan. Antara ujung selang di kepala dan perut dihubungkan dengan selang yang ditanam di bawah kulit hingga tidak terlihat dari luar.
e. Pengobatan modern atau canggih dilakukan dengan bahan shunt atau pintasan jenis silicon yang awet, lentur, dan tidak mudah putus.
Pemberian obat – obatan misalnya :
 Deksametason sebagai pengobatan antiedema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
 Pengobatan antiedema, larutan hipertonitis, yaitu manitol 20% atau glukosa 40% atau gliserol 10%.
 Antibiotika yang mengandung barier darah otak (penisilin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metridinasol.
 Makanan atau cairan, jika muntah dapat diberikan cairan infus dekstrose 5%, 2 – 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.

8. Komplikasi
Menurut prasetyo (2004), komplikasi hydrocephalus yaitu :
a. Peningkatan TIK
b. Pembesaran kepala
c. Kerusakan otak
d. Meningitis, ventrikulsris, abses abdomen
e. Ekstremias mengalami kelemahan, ikoordinasi, sensibilitas kulit menurun
f. Kerusakan jaringan saraf
g. Proses aliran darah terganggu



B. Konsep dasar keperawatan
1. Pengkajian
a) Pengkajian persistem pada klien hydrocephalus yaitu :
a. B1 (breath)
Perubahan pada sistem pernafasan berhubungan dengan inaktivitas. Dari beberapa keadaan hasil dari pemeriksaan fisik dari sistem ini akan didapatkan hal – hal sebagai berikut :
 Inspeksi umum. Apakah di dapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan. Terdapat retraksi klavikula/ dada, pengembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada : dinilai penuh atau tidak penuh dan kesimetrisannya. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi dari otot – otot interkostal, substernal, pernafasan abdomen, dan respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola nafas ini dapat terjadi jika otot – otot interkostal tidak mampu menggerakkan dinding dada.
 Palpasi. Taktil premitus biasanya seimbang kanan dan kiri.
 Perkusi. Resonan pada seluruh lapangan paru.
 Auskultasi. Bunyi nafas tambahan, seperti nafas berbunyi, stridor, ronchi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien hydrocephalus dengan penurunan tingkat kesadaran.
b. B2 (blood)
Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradichardi merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menunjukkan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah. Hipotensi menunjukkan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda – tanda awal dari suatu syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala akan merangsang pelepasan antidiurtik hormon yang berdampak pada kompensasi tubuh untuk melakukan retensi atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan merangsang menigkatnya konsentrasi elektrolit sehingga menimbulkan resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem kardivaskuler.


c. B3 (brain)
Hydrocephalus mengakibatakan berbagai defisit neurologis terutama disebabakan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya peningkatan jumlah CSF dalam sirkulasi ventrikel. Pengkajian ini merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajiAan pada sistem lainnya.
Kepala terlihat lebih besar jika dibandingkan dengan tubuh. Hal ini diidentifikasi dengan mengukur lingkar kepala suboksipito bregmatikus dibandingkan dengan lingkar dada dan angka normal pada usia yang sama. Selain itu pengukuran berkala lingkar kepala yaitu untuk melihat pembesaran kepala yang progresif dan lebih cepat dari normal. Ubun – ubun besar melebar atau tidak menutup pada waktunya, teraba tegang atau menonjol. Dahi tampak melebar dengan kulit kepala yang menipis, tegang, dan mengkilat dengan pelebaran vena kulit kepala.
Sutura tengkorak belum menutup dan teraba melebar. Didapatkan pula cracked pot sign yaitu bunyi seperti pot kembang yang retak pada perkusi kepala. Bola amta terdorong ke bawah oleh tekanan dan penipisan tulang supraorbita. Sklera tampak di atas iris sehingga iris seakan – akan matahari yang akan terbenam atau “sunset sign”.
Pengkajian tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap lingkungan dalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persyarafan.
Pengkajian fungsi serebral.
 Status mental. Pada bayi dan anak - anak pemeriksaan ni tidak dilakukan.
 Fungsi intelektual. Pemeriksaan fingsi intelektual disesuaikan antara usia dan tumbuh kembang anak yaitu sering di dapatkan penurunan dalam perkembangan inelektual anak dibandingkan dengan perkembangan anak normal sesuai tingkat usianya.
 Lobus frontal. Pada klien bayi dan anak – anak disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak.
Pengkajian saraf kranial. Pengkajian ini meliputi pengkajian saraf kranial I – XII.
o Saraf I. Pada beberapa keadaan hydrocephalus yang menekan anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada fungsi penciuman/ anosmia unilateral atau bilateral.
o Saraf II. Pada anak yang agak besar mun gkin terdapat edema pupil saraf otak II pada pemeriksaan funduskopi.
o Saraf III, IV, VI. Tanda dini herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada penyinaran. Paralisis otot – otot okular akan menyusul pada tahap berikutnya. Perubahan gerakan bola mata, penurunan luas lapangan pandang. Konvergensi sedangkan alis mata dan bulu mata ke atas, tidak bisa melihat ke atas. Strabismus, nystagmus, atropi optik sering didapatkan pada anak dengan hydrocephalus.
o Saraf V. Pada abeberapa keadaan hydrocephalus menyebabakan paralisis saraf trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah dan menetek.
o Saraf VII. Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
o Saraf VIII. Biasanya tidak didapatkan adanya perubahan fungsi pendengaran.
o Saraf IX, X. Kemampuan menelan kurang baik, kesulitan membuka mulut.
o Saraf XI. Mobilitas klien kurang baik karena besarnya kepala menghambat mobilitas leher klien.
o Saraf XII. Indera pengecapan mengalami perubahan.
d. B4 (bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal. Pada hydrocephalus tahap lanjut klien mungkin mengalami inkontinensia urine karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan kemampuan untuk menggunakan sistem perkemihan karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang – kaddang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
e. B5 (bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, serta mual dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah akibat peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menujukkan adanya dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk menilai keberadaan dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralisis ileus dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.
f. B6 (bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan fisik umum, pada bayi disebabkan pembesaran kepala sehingga mengganggu mobilitas fisik secara umum. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit. Adanya perubahan warna kulit: warna kebiruan menunjukkan adanya sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran mukosa). Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar hemoglobin atau syok. Pucat, sianosis pada klien yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Pada klien dengan kulit gelap, perubahan warna tersebut tidak begitu jelas terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukkan adanya demam dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralisi/hemiplegi, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.

2. Diagnosa
Diagnosa yang bisa muncul yaitu :
1) Gangguan perfusi jaringan serebral b/d peningkatan tekanan intrakranial.
2) Gangguan kebututhan nutrisi dan cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake makanan
3) Resiko tinggi cedera berhubungan dengan penigkatan tekanan intrakranial.

3. Intervensi
1) Gangguan pefusi jaringan serebral b/d peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi :
1. Amati adanya bukti – bukti peningkatan TIK (perubahan kesadaran, muntah, nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, kejang, bradichardii, nafas lambat dan tidak teratur), lapor dengan segera bila ada
R/: Hal ini sangat penting dalam mencegah bahaya ataupun komplikasi yang dapat mengancam jiwa.
2. Observasi TTV (TD, nadi, pernafasan dan suhu)
R/: Perubahan TTV klien pasca bedah dapat memberikan gambaran komplikasi, prognosis penyakit yang jelek.
3. Pantau drainase cairab serebrospinal pasca bedahdenganccara monitor ukuran tonjolan ubun – ubun, ukur lingkar kepala / hari
R/: Drainase cairan serebrospinal yang berlebihan dapat dicurigai terjadinya kerusakan otak yang progresif serta membantu dalam mengambil tindakan lanjutan.
4. Letakkan kepala dalam posisi yang ditinggikan 150 - 300
R/: Menurunkan tekanan arteri dan meningkatkan drainase dan sirkulasi/ perfusi serebral.
5. Cegah terjadinya mengedan saat defekasi dan pernafasan yang memaksa (batuk terus – menerus)
R/: Manuver valsava dapat meningkatkan TIK dan memperbesar resiko terjadinya perdarahan.
6. Ciptakan lingkungan yang tenang. Berikan istirahat secara periodik antara aktivitas perawatan, dan batasi lamanya tiap prosedur.
R/: Aktivitas/ stimulasi yang kontinue dapat meningkatakan TIK.
7. Penatalaksanaan pemberian terapi luminal sesuai program medik (luminal 3 x 1)
R/: Terapi luminal mengandung zat penenang yang dapat membantu menurunkan aktivitas kejang.
2) Gangguan kebutuhan nutrisi dan cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake makanan
Intervensi :
1. Kali jenis makanan yang disukai anak dan makanna yang tidak merangsang muntah
R/: agar mudah memilih dan menyajikan makanan
2. Berikan makanan sedikit tapi sering
R/ untuk menjaga kestabilan berat badan agar tidak turun drastis dan juga tidak mual
3. Menyajikan makanan selagi hangat
R/ dengan menyajikan makanan selagi hangat menambah nafsu makan pasien
4. Bantu dan dampingi klien saat makan
R/: untuk memberi dukungan dan dorongan pada klien.
5. Kolaborasi untuk memberikan cairan IV line
R/ pemberian cairan melalui intravena untuk menambah nutrisi dan cairan karena pasien mual dan muntah

3) Resiko tinggi cedera berhubungan dengan penigkatan tekanan intrakranial.
Intervensi :
1. Observasi dengan cermat adanya tanda – tanda penigkatan TIK (perubahan kesadaran, muntah, nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, kejang, bradichardii, nafas lambat dan tidak teratur)
R/ : untuk mencegah keterlambatan tindakan.
2. Lakukan pengkajian neurologis dasar pada pra operasi.
R/ : sebagai pedoman untuk pengkajian pasca operasi dan evaluasi fungsi pirau.
3. Hindari pemasangan infus intravena di vena kulit kepala bila pembedahan akan dilakukan.
R/ : karena prosedur akan mempengaruhi sisi IV.
4. Posisikan anak sesuai ketentuan ( tempatkan pada sisi yang tidak di operasi).
R/ : untuk mencegah tekanan pada katup pirau.
5. Tinggikan kepala tempat tidur jika diinstruksikan.
R/ : untuk meningkatkan aliran gravitasi melalui pirau.
6. Hindari sedasi
R/ : karena tingkat kesadaran adalah indikator penting dalam peningkatan tekanan intrakranial.
7. Ajari keluarga tentang tanda – tanda penigkatan TIK dan kapan harus memberei tahu praktisi keperawatan.
R/ : mencegah keterlambatan tindakan.



BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Jumlah cairan serebrospinal (CSF) dalam rongga serebrospinal yang berlebihan dapat meningkatkan tekanan sehingga dapat merusak jaringan saraf. Keadaan ini disebut hydrocephalus yang berarti “kelebihan air dalam kubah tengkorak”. Jadi, hydrocephalus dapat diakibatkan oleh pembentukan cairan berlebihan oleh pleksus koroideus, absorpsi yang inadekuat, atau obstruksi aliran keluar pada salah satu ventrikel atau lebih.
Ada dua jenis hydrocephalus : nonkomunikans, yaitu aliran cairan dari sistem ventrikel ke ruang subarachnoid mengalami sumbatan dan komunikans yaitu tidak ada sumbatan. Sindroma klinis yang berhhubungan dengan dilatasi yang progresif pada sistem ventrikuler serebral dan kompresi gabungan dari jaringan – jaringan serebral selama produksi. CSF yang ada menigkatkan kecepatan absorpsi oleh vilii arachnoid. Akibat berkelebihannya cairan serebrospinal dan meningkatnya tekanan intrakranial menyebabkan terjadinya peleburan ruang – ruang tempat mengalirnya cairan. Penyebab penyumbatan aliran CSF yang sering terjadi pada bayi dan anak adalah kelainan bawaan(kongenital), infeksi, neoplasma, dan perdarahan.
2. Saran
Sebagai penulis pemula kami sadar sepenuhnya bahwa makalah kami ini di dalamnya masih terdapat banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun penulisan, untuk itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan sebagai perbaikan untuk penulisan berikutnya. Kami juga menyarankan kepada pembaca untuk membuat makalah yang sejenis.